Part 5- Hujan Masih Akan Turun di Tawangmangu
Kejadian itulah yang merupakan awal dari perpisahan mereka. Mereka memang masih sempat bertemu beberapa kali, terutama untuk mencoba mencari jalan untuk bisa membujuk ayah Arya.
Namun usaha-usaha mereka sama sekali tidak menggoyahkan hati Pak Probo. Bahkan kegagalan demi kegagalan dalam usaha itu akhirnya membuat mereka semakin putus asa. Dan dalam keadaan itulah mereka akhirnya terjerumus untuk melakukan sebuah hubungan terlarang. Suatu peristiwa yang semakin membuat mereka frustasi, sehingga menjadikan mereka begitu sensitif, mudah tersinggung dan menjadi sering salah paham.
Pada akhirnya hubungan mereka berangsur menjadi semakin jauh dan kemudian putus. Bahkan akhirnya mereka saling kehilangan kontak dan tidak pernah bertemu sama sekali setelah mereka lulus kuliah dan kemudian Aryani meninggalkan Solo untuk kembali ke rumah orangtuanya di Semarang.
*****
Mereka tersadar dari kenangan masa lalunya ketika tiba-tiba terdengar suara ramai dari tiga anak kecil yang berteriak-teriak gembira dan berlari-larian menuju ke kolam renang. Sementara kedua orang tua di belakang mereka sibuk memperingatkan, "Hei...jangan lari-lari nanti kecebur. Ingat gak boleh berenang lho ya!"
Aryani menghela nafas dalam-dalam untuk mengusir angan-angannya. Ketika kemudian ia menengok ke Arya ternyata pemuda itupun sedang menengok ke arahnya. Nampaknya ia pun baru terbangun dari kenangan masa lalu itu. Aryani memalingkan wajahnya ke arah lain menghindari tatapan Arya.
Sebenarnya ada hasrat Aryani untuk menanyakan kelanjutan hubungan antara Arya dengan Larasati, wanita yang dijodohkan dengan Arya itu. Namun rasa kewanitaannya mencegahnya. Ia malu dan merasa tidak sepantasnya seorang wanita menanyakan hal itu, apalagi ia adalah mantannya, mantan yang masih terus memiliki rasa. Selain itu, ia juga merasa takut. Takut untuk mendengar kenyataan kalau-kalau Arya sudah menikah. Dan kenyataan itu tentu akan melenyapkan sama sekali harapan yang masih tersisa yang tanpa sadar masih dipendamnya.
Namun ternyata Aryani memang tidak perlu menanyakan hal itu. Tiba-tiba saja, tanpa ditanya justru Arya berkata, "Lihatlah itu Ry, orang itu melarang anak-anaknya berlari-larian dan berenang. Orang tua memang selalu bermaksud baik pada anak-anaknya. Tapi.. terkadang mereka justru lupa apa yang sebenarnya bisa membuat anaknya bahagia," Arya diam sejenak, lalu, "Demikian pula ketika bapak menjodohkan aku dengan Larasati."
"Maksudmu?" tanya Aryani ragu-ragu.
"Setahun setelah kepergianmu, akhirnya aku menikah dengan Larasati, Ry. Pernikahan yang mewah... Pernikahan yang dihadiri oleh banyak sekali tamu undangan. Bapak terlihat sangat bahagia saat itu. Tetapi tidak dengan kami..," ucap Arya lirih.
"Maksud Mas Arya..?" tanya Aryani dengan jantung berdebar.
"Ya, kami menikah, namun hati kami tersiksa. Kami merasa tidak ada kebahagiaan pada perkawinan itu. Dan kemudian kami terpaksa bercerai setelah kami menjalani dua tahun pernikahan."
"Oh...," seru Aryani terkejut. Berbagai hal memenuhi pikiran dan perasaannya.
Namun yang kemudian dikatakannya, "Maaf mas..." kata Aryani perlahan, "Tapi bukankah seharusnya Mas Arya lebih berusaha untuk mempertahankan perkawinan itu?"
Arya berdebar-debar. Sesungguhnyalah ia berharap masih ada kesempatan baginya untuk kembali pada Aryani. Akan tetapi, mengapa Aryani justru kelihatan tidak senang dengan perceraiannya? Apakah karena ia sudah bersuami?
"Kenapa Ry..? Tetapi, Larasati lah yang menggugatku cerai."
"Maaf saya kelepasan bicara mas. Saya tidak berhak menilai atau mencampuri..," kata Aryani ragu.
"Katakanlah Ry, aku ingin mendengar pendapatmu," pinta Arya.
Sejenak Aryani menimbang, lalu, "Mas, bukankah waktu menikah dahulu Mas Arya berjanji di hadapan Tuhan?"
"Berjanji?"
"Oh..mungkin pilihan kata saya yang kurang tepat... Maksud saya, kalau di keyakinanku, sepasang pengantin memang secara eksplisit mengucapkan janji. Janji untuk bersama seumur hidup apapun keadaannya, dalam susah ataupun senang, dalam untung maupun malang. Tapi, saya rasa di keyakinan Mas Arya pun hal itu sama bukan? Meski mungkin tidak eksplisit diucapkan?" Aryani berhenti sejenak.
Lalu sambungnya, "Bukankah Mas Arya menikahnya di rumah Allah? Dan itu artinya Allah pasti menjadi saksi atas pernikahan itu. Jadi, jika di sana mas mengatakan 'saya terima nikahnya Larasati..' bukankah itu juga merupakan sebuah komitmen atau janji? Janji Mas Arya yang diucapkan di rumah Allah, di depan Allah. Dan karena terucap dihadapanNya, bukankah itu harus dipertanggungjawabkan sampai kapan pun?"
Aryani sedikit terengah. Entahlah mengapa ada emosinya yang terbawa dalam kalimat-kalimat yang diucapkannya?
Sementara Arya masih terdiam merenungkan kata-kata Aryani.
"Ry, sebetulnya perceraianku juga tidak semudah itu terjadi. Pasti ada upaya-upaya kami berdua untuk mempertahankannya. Dan bahkan itu sudah berlangsung sejak hari-hari pertama pernikahan kami sampai dua tahun kemudian."
"Kalau boleh tahu, apa yang terjadi mas?"
Arya terdiam. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Tetapi ia merasa bahwa waktunya belum tepat.
Karena Arya masih diam maka kemudian Aryanilah yang berkata, "Maaf mas kalau itu terlalu pribadi. Tapi.., " Aryani ragu sejenak, dipaksakannya bibirnya untuk bertanya, "Apakah pernikahan mas telah dikaruniai seorang anak?"
"Allah belum mengaruniakan seorang anak bagi kami Ry. Tapi mungkin justru hal itulah, yang meskipun dengan berat hati membuat kami bisa melakukan perceraian ini."
Mereka kembali terdiam. Masing-masing terbawa pada kenangan dan angannya. Hanya suara kecipak air di kolam dan pekik beberapa anak yang masih berenang di waktu lewat senja itu yang terdengar.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh dering panggilan pada hp Aryani.
"Mas Wisnu..," desah Aryani dalam hati yang kemudian terpaksa me-rejectnya.
Namun tidak berselang lama, hp itu berbunyi lagi. Aryani ragu untuk me-rejectnya lagi. Maka di-silentnya saja hpnya.
"Siapa?" tanya Arya yang masih mendengar bunyi getar hp tersebut.
"Teman," sahut Aryani dengan segan.
Arya terdiam. Dia sendiri juga sedang gelisah. Sementara bunyi getar panggilan itu pun kemudian berhenti.
Tetapi tidak berselang lama getarnya kembali terdengar dalam panggilan berikutnya.
Arya menghela nafas panjang. Lalu katanya kepada Aryani, "Apa tidak akan kau angkat Ry? Mungkin ada yang penting. Kasihan," ujar Arya.
Aryani tak dapat mengelak lagi.
"Ah, mana panggilan video call lagi... Mengapa dia begitu suka video call !" keluh Aryani dalam hati.
"Hallo Mas Wisnu, ada apa mas?"
"Hai dik Ary...gimana kabarmu dik? Sehat?" terlihat di layar hpnya wajah Wisnu nampak begitu ceria.
Mau tidak mau, Aryani berusaha menutupi kesan gelisah di wajahnya, meski masih terlihat kaku. Rasanya tidak layak merusak kebahagiaan orang.
"Syukur mas, aku sehat dan baik-baik aja."
"Oh syukurlah. Dik.., tau nggak, kali ini saya bawa kabar apa?"
"Oh memang ada kabar apa lagi mas. Bukankah siang tadi mas sudah cerita panjang lebar?"
"Ah, mengapa aku bertanya demikian ke Mas Wisnu sementara ada Mas Arya di sebelahku?" sesal Aryani dalam hati.
Sekilas diliriknya Arya. Tapi sialnya ternyata Arya juga sedang memandangnya. Maka segera Aryani memalingkan wajahnya, dan kembali melihat Wisnu di layar hpnya.
"He, ini kabar luar biasa dik, makanya aku harus segera mengabarkannya ke kamu. Tau nggak dik, sekarang ibumu sudah semakin merestui hubungan kita. Ibu sekarang sudah benar-benar menganggapku sebagai menantunya!" ucap Wisnu dengan bersemangat.
"Ah..apa lagi ini?" geram Aryani dalam hati. Dan dia menjadi sangat gelisah karena Arya pasti mendengar ucapan Wisnu. Justru karena ini panggilan video call, dan dia tidak memakai headset yang tertinggal di tasnya di kamar hotel.
"Kok Mas Wisnu bisa ngomong begitu?"
"Ini dik! Ini..lihat aja," ujar Wisnu sembari mengarahkan kamera hpnya pada sebuah masakan yang terhidang di mejanya.
"Ini gudeg komplit Mbak Tum dik, kamu tau kan dik? Gudeg yang katanya paling uenak 'sak' Semarang. Dan aku sama sekali tidak beli ini. Tapi aku dikasih. Coba Dik Ary tebak, siapa yang mengirimi aku gudeg ini?" wajah Wisnu di layar hp terlihat senyum-senyum bahagia. Sementara Aryani mulai pucat, terlebih ketika dirasakannya bahwa Arya sedikit bergeser mencuri pandang layar hp di tangannya.
"Siapa..?" tanya Aryani dengan suara agak bergetar, meski ia sudah tau jawabnya.
"Siapa lagi? Ini dari ibumu. Dari Bu Sundari. Tadi ibu mengirimkan ini pakai ojek online. Katanya biar aku sehat dan gak telat makan," ujar Wisnu dengan girangnya. Kegembiraannya yang berlebih membuatnya kehilangan kepekaan atas reaksi wajah Aryani.
"Oh...mama..," desah Aryani. Namun Aryani sama sekali tidak tahu bahwa mamanya mengirim gudeg itu ke Wisnu sebagai balasan atas oleh-oleh ayam bakar dari Wisnu siang tadi.
"Ehm mas...ini kebetulan saya masih ada negosiasi dengan rekanan di sini. Maaf telponnya disambung nanti lagi aja gakpapa ya?"
Lalu sambungnya, "Selamat menikmati makanannya ya mas."
"Oh ok Dik Ary...daah.." Wisnu masih sempat melambaikan tangannya di layar hp. Namun Aryani buru-buru mematikan hpnya.
"Maaf Mas Arya.."
"Gakpapa Ry. Lagian kenapa minta maaf? Justru tadinya aku berpikir kenapa kamu buru-buru menyudahi pembicaraanmu? Bukankah sebenarnya tidak ada hal penting yang sedang kita bahas? Tidak seperti yang tadi kamu katakan ke calonmu tadi?"
Meski berusaha untuk bicara sewajar mungkin, bagaimana pun suara Arya agak bergetar menahan kegelisahannya. Serasa mendadak ada sesuatu yang akan terlepas hilang dari hatinya.
Aryani terdiam, namun tiba-tiba tanyanya, "Apakah memang tidak ada hal penting yang kita bicarakan mas?"
"Maksudku bukankah kita tidak sedang bernegosiasi apa-apa? Mungkin ada hal penting lain yang mau disampaikannya ke kamu."
"Lantas, tidak ada yang penting di sini?" sergah Aryani sewot.
Hatinya benar-benar sedang kesal dan gelisah, karena berbagai hal: kenangan pahitnya atas sikap Pak Probo, perhatian mama ke Wisnu, kata-kata dan video call Wisnu, apalagi di depan Arya, dan entahlah...sesuatu yang membuat dia juga kesal justru kepada Arya?
No comments:
Post a Comment
Salam kenal...