Tuesday, 1 November 2022

Part 6- Hujan Masih Akan Turun di Tawangmangu



Malam itu Aryani tak dapat tidur. Meski malam sudah mulai larut, dia tetap berdiri di depan jendela kamarnya yang masih terbuka. Matanya seakan berusaha menatap jalan menurun yang berkelok-kelok yang ada di bawah hotelnya. Jalan yang sudah tak bisa terlihat, tertutup oleh gelapnya malam. Segelap hatinya malam itu.


Perasaannya sungguh gundah memikirkan kejadian senja tadi. Arya tiba-tiba saja seperti kehilangan gairah dan kemudian pamit pulang. Tanpa ada kepastian apakah dia akan menghubunginya kembali atau tidak?



"Apakah Mas Arya cemburu kepada Mas Wisnu?"

"Tapi mengapa dia harus cemburu? Apakah dia belum memiliki kekasih lain pengganti Larasati?"

"Mungkinkah...dia masih mengharapkanku?"


Aryani berdebar-debar memikirkan pertanyaannya sendiri. Terbersit sebuah harapan indah di tengah kegelisahannya.


"Akan tetapi tadi Mas Arya pulang begitu saja? Apakah tadi dia tersinggung? Apakah ada kata-kata atau sikapku yang menyakitinya?"


Berbagai pertanyaan berseliweran di hati Aryani. Ia lalu mencoba mengingat kembali kata-kata dan sikapnya di senja tadi.


"Siapa Ry?"


"Mas Wisnu mas."


"Kelihatannya dia baru mendapat kiriman makanan dari ibumu?"


"Ya mas, ibu baru mengiriminya gudeg."


"Pastinya dia sudah sangat dekat dengan ibumu?"


"Ehm...begitulah mas. Mas Wisnu memang sangat dekat dengan ibu."


Arya terdiam. Serasa ada kuncup yang akan layu di hatinya. Sementara Aryani masih menunggu pertanyaan Arya berikutnya. Namun Arya tak kunjung bertanya lagi.


"Ah...mengapa Mas Arya tidak  bertanya langsung aja; apakah Mas Wisnu pacarku atau bukan? Mengapa dia tidak bertanya; apa aku mencintai Mas Wisnu atau tidak?" desah Aryani dalam hati.


Aryani sama sekali tidak tahu bahwa sesunggunyalah pertanyaan-pertanyaan itu telah dilontarkan Arya. Namun sebatas di dalam hatinya sendiri! Arya belum siap untuk menerima kenyataan jika nantinya jawaban Aryani tidak sesuai dengan yang diharapkannya.


Sementara Aryani menjadi semakin gelisah serta gusar. Ada keinginannya untuk menjelaskan saja pada Arya bahwa Mas Wisnu bukan siapa-siapanya. Tetapi bukankah itu memalukan, karena Arya sama sekali tak menanyakan hal itu? Juga, untuk apa dia menjelaskan itu ke Arya, jika Arya sendiri mengatakan tidak ada yang penting dengan pertemuan mereka? "Atau...mungkinkah Arya sudah mempunyai seorang kekasih?" pertanyaan ini terus berulang di dalam hati Aryani.


Namun ternyata sikap diam Aryani itu justru menimbulkan tanggapan yang berbeda pada Arya.


"Maaf Ry...jika aku terlalu banyak bertanya."


"Oh gakpapa kok mas, tanya aja..." kalimat Aryani terputus.


Kalimat yang sudah di ujung lidahnya bahwa 'Wisnu bukan siapa-siapanya' ditelannya kembali. Keraguannya atas sikap dan status Arya menahannya untuk melanjutkan kalimatnya. Juga karena harga dirinya yang tiba-tiba terusik. Apalagi dia merasa sebagai seorang wanita yang tak pantas untuk 'menjajakan' dirinya di depan laki-laki.


Mereka diam. Dan suasana pun terasa menjadi kaku. Mereka hanya memandangi beberapa pengunjung hotel yang lewat menuju dan kembali dari kolam renang.


"Baiklah Ry, udah malam. Aku pamit pulang dulu ya."

Lalu, "Terimakasih banyak atas suguhannya," kata Arya tiba-tiba namun dengan nada ragu.


"Mas..?" Aryani menatap Arya dalam-dalam.


"Ya Ry?"


"Ehm... okelah kalau mas mau pulang. Terimakasih sudah mau mampir. Selamat malam." ujar Aryani dengan sedikit ketus.


Ada perasaan kecewa yang melandanya. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya, dan yang ingin ditanyakannya, namun saat itu ia tidak mampu menyatakannya. Dan ia tak punya alasan untuk mencegah Arya yang tiba-tiba saja pamit pulang.


"Selamat malam Ry," sahut Arya dengan lemahnya. Hatinya terasa kosong, harapannya seakan sirna.


Korden tipis di jendela kamar hotel Aryani yang masih terbuka, berkibar keras tertiup angin. Menghantarkan udara dingin pegunungan nan menggigit tulang di malam itu. Menyadarkan Aryani dari lamunannya.


Sejenak Aryani membuang nafas dengan kesalnya. Namun kemudian ia segera menutup jendela kamarnya, lalu berjalan ke pembaringannya.


Beberapa lama ia masih duduk di tepi pembaringannya. Baru kemudian ia menghela nafas dalam-dalam sebelum membuat tanda salib. Ia lalu meletakkan segala bebannya di hadapan Tuhan, serta menyerahkan dirinya pada apa yang Tuhan kehendaki atasnya. Sementara ia masih mampu mengucap syukur, walau dengan berlinang air mata...


*****


Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, ketika Aryani sudah berada di parkiran hotel. Hari baru, ia terlihat cukup segar meski hampir semalaman ia tidur dengan gelisah. Pagi itu ia bersiap pulang ke Semarang. Dipakainya sepatu kets yang serasi dengan celana jeans dan t-shirtnya. Sehelai baju tebal berlengan panjang masih disangkutkannya di leher, membungkus pundaknya.


Nampak ia sedang memasukkan kopornya ke dalam mobil. Tak ketinggalan barang belanjaannya berupa bahan-bahan kain untuk contoh ke Bu Hartati juga sudah dimasukkannya. Sebelum ke Semarang, ia akan mampir ke rumah Bu Hartati di Solo untuk menyerahkan bahan-bahan itu. Semuanya sudah siap. Juga ia sudah sarapan di resto dan sudah pula check out dari hotelnya.


Maka sejenak kemudian mobil Aryani mulai meninggalkan parkiran hotelnya. Ada segumpal rasa sedih yang ingin ditinggalkannya. Perlahan Aryani sampai ke gerbang, berhenti sebentar untuk bersiap menyeberang jalan. Namun tiba-tiba pandangan matanya terpaku pada seorang laki-laki di seberang jalan yang melambai-lambaikan tangannya.


Setengah tidak percaya Aryani berusaha mengenali lelaki itu. Arya?!


Maka setelah menyeberang jalan yang memang agak sepi itu, Aryani segera meminggirkan mobilnya dan berhenti di bahu jalan yang cukup lebar.


Arya segera menghampiri mobilnya. Dan Aryani pun segera keluar dari mobil.


Beberapa saat Aryani terkesima. Sementara Arya menyalaminya sambil tersenyum... meski terlihat ada kepahitan di balik senyumnya.


"Pagii Ry..!"


"Pagii mas...ehm..Mas Arya kebetulan di sini atau..?"


"Ah nggak Ry...aku memang sengaja menunggu kamu lewat di sini."


"Oh...kenapa gak masuk aja mas atau menelponku?"


"Yaa tadinya aku sudah masuk, tapi kemudian aku ragu apa kamu sudah bangun atau justru sudah pulang ke Semarang. Akhirnya aku ke parkiran.."


"Ke parkiran?"


"Aku coba cari-cari aja di antara deretan mobil di sana barangkali ada yang ber-plat H. Dan kutemukan satu dengan sebuah kalung salib tergantung di spion dalam. Maka aku hampir pasti bahwa itu mobilmu."


Tiba-tiba Aryani tertawa dengan cerahnya. Tawa yang panjang yang membuat wajahnya memerah dan tubuhnya berguncang-guncang indah di mata Arya. Arya pun tersenyum sembari mensyukuri keindahan itu.


"Mas Arya...Mas Arya kamu pinter sekali..cocok jadi detektif mas...," ujar Aryani masih sambil tertawa. Dan Arya pun akhirnya benar-benar ikut tertawa. Benarlah kata orang bijak, bahwa senyuman kita membahagiakan orang dan tawa kita menyegarkan dunia.


"Jadi akhirnya Mas Arya menunggu saya di sini? Sudah lama mas?" tanya Aryani setelah ia berhasil menahan tawanya.


"Belum lama kok, baru sejam-an kira-kira."


"Satu jam? Gimana kalau ternyata aku pulang siang mas?"


"Ya feelingku sih kamu gak akan pulang siang Ry... Tapi kalau misal sampai agak siang kamu belum keluar juga ya pasti aku telpon kamu, sebab aku yakin kamu pasti udah bangun," ujar Arya sambil tersenyum. Senyum yang Aryani dapat menilainya sebagai sebuah senyum yang tulus.


"Oh Mas Arya...begitu besar perhatianmu," bisik hati Aryani.


Dan tiba-tiba hilanglah semua keraguan Aryani. Entah mengapa tiba-tiba intuisi wanitanya merasa yakin bahwa belum ada seorang wanita lain yang mengisi hati Arya, dan bahwa Arya menaruh harapan padanya. Maka seketika itu cerahlah wajahnya. Secerah sinar mentari di pagi itu.


Sebuah senyuman yang manis sekali tersungging di bibirnya ketika ia berkata, "Terimakasih banyak mas... mau menungguku sekian lama."


"Ah...biasa aja kok Ry," kata Arya tersipu.


"Ehm...sekarang kita akan kemana mas?" tanya Aryani dengan senyum menggoda.


"Kita..?" sergah Arya terkejut.


"Maksudku Mas Arya habis ini mau kemana? Ayo saya antar. Kelihatannya Mas Arya gak bawa kendaraan?" kata Aryani sambil mengedarkan pandangannya.


"Tadi aku bareng teman petani yang mau ke Cemorosewu. Tadinya, setelah ini aku juga mau terus naik ke Cemorosewu."


"Tadinya?"


"Ya, tadinya. Tapi sekarang aku gak bakalan tega lah kalau kamu mau antar aku ke sana," ujar Arya tersenyum, lalu lanjutnya, "Sekarang aku nunut kamu aja sampai Solo boleh?"


"Dengan senang hati," jawab Aryani sambil kembali tersenyum manis.


Dan kini, Arya pun tiba-tiba mulai merasa bahwa masih ada harapan baginya untuk kembali pada Aryani. Tetapi Wisnu..? Maka diberanikannya bertanya untuk meyakinkan dirinya;


"Kalau sampai Semarang?"


Sekarang giliran Aryani yang terkejut. Ditatapnya Arya yang juga sedang menatapnya.


Tak ada kata yang terucap. Hanya mata mereka yang bicara. Dan hati mereka yang saling meraba. Serta bibir mereka yang kemudian tersenyum. Senyuman yang saling menghangatkan di udara pagi pegunungan yang masih terasa dingin itu.


Ketika beberapa saat kemudian Aryani menyerahkan kunci kontak mobilnya kepada Arya, dan mereka melalui jalanan menurun nan berkelok-kelok itu, Aryani melaluinya dengan beribu ucapan syukur.


Jalanan yang pernah dilaluinya dalam hujan deras sambil berurai air mata itu, kini dilaluinya kembali dengan senyuman. Senyuman sebagaimana semula dahulu. Namun apa yang diketahui oleh seorang manusia termasuk Aryani, tentang kehidupannya di masa mendatang? Bahwa masih akan ada kelokan-kelokan tajam dan hujan masih akan turun di Tawangmangu.


                          T A M A T


Comments
0 Comments

No comments: