Wednesday, 16 November 2022

Part 2- PARTIJAH



Mentari fajar baru saja bersinar. Sentuhan hangatnya menyapa titik-titik embun yang masih menggayut di ujung dedaunan. Seorang perempuan nampak membuka pintu rumah. Kulit sawo matangnya yang khas perempuan desa, tidak mengurangi keelokan alaminya. Terlebih ada sesungging senyum di bibirnya.

Hari itu memang hari istimewa bagi Partijah. Postingan-postingannya di media sosial ternyata mendapatkan banyak respon positif. Bahkan mengundang beberapa pegiat lingkungan dari kota hadir di desa itu. Hal ini membuat Partijah sangat bergembira, apalagi hari itu, bersama beberapa orang pegiat lingkungan, akhirnya ia diundang kepala desa untuk hadir dalam rembuk desa.
 
Namun ternyata acara rembuk desa tersebut tidak berjalan sebagaimana yang ia harapkan. Seorang pemuda berteriak lantang, “Ini hoax kalau ada yang bilang bukit ini mau runtuh! Apalagi sampai menyuruh kami mengungsi!”
 
Beberapa orang menimpali dengan teriakan-teriakan senada membuat suasana menjadi gaduh.
 
“Ini semua pasti gara-gara Mbak Partijah!”
 
“Ya! Ini ulah Mbak Partijah!” teriak yang lain.
 
“Bukan hanya Partijah, tapi juga orang kota yang mengaku pegiat lingkungan hidup itu,” seru Bejo tak kalah keras.
 
Tentu Partomo lah yang dimaksud Bejo sebagai orang kota, mantan kawan kuliah Partijah sebelum ia memutuskan untuk kembali ke desanya. Dialah yang paling intens berhari-hari berjalan bersama Partijah mengelilingi bukit gundul itu.
 
Suasana semakin gaduh dengan semua mata menatap Partijah dan Partomo, yang duduk di sebelah kepala desa. Tetapi Partijah tidak menundukkan wajahnya. Bahkan kemudian dengan seijin kepala desa, ia berbicara dengan lugas,
“Bapak-ibu, dan teman-teman Warga Desa Girimulyo yang saya hormati. Saya tahu bahwa banyak yang tidak suka dengan apa yang saya lakukan, sehingga kemudian banyak suara-suara yang menyudutkan saya.”
 
“Ada yang mengatakan bahwa saya mencari popularitas supaya medsos saya dibanjiri subscriber dan follower. Ada yang bilang bahwa demi penghasilan dari medsos itu, saya tega membuat berita hoax ini. Itu sama sekali tidak benar! Meskipun tidak saya pungkiri bahwa medsos adalah sumber penghasilan saya disamping sekotak kecil sawah yang hasilnya dibagi dengan penggarapnya. Akan tetapi tidak mungkin bagi saya, demi mengejar uang, saya mengarang-ngarang cerita tentang bahaya longsor ini. Apalagi ini menyangkut ketenteraman hidup tetangga-tetangga saya sendiri. Yang saya lakukan ini adalah semata karena kekhawatiran saya atas keselamatan kita semua!”
 
Masih ada hal-hal lain yang disampaikan Partijah dengan cukup emosional. Semua terdiam! Barulah sejenak kemudian bapak kepala desa mengajak untuk kembali ke pokok persoalan, lalu memberi kesempatan kepada Partomo untuk memberikan pemaparan.
 
Dengan tenang Partomo memaparkan fakta-fakta temuannya di bukit itu. Ia mencoba untuk tidak terpengaruh pada keributan sebelumnya.
 
“...Jadi, tanah lempung yang lembut dan berpasir di bukit itu akan bertambah berat karena mengandung air hujan. Sementara tanah dan bebatuan keras yang kedap air pada lapisan di bawahnya akan menjadi bidang gelincir, yang memudahkan lapisan tanah di atasnya bergerak longsor karena sudut kemiringan yang cukup besar serta tanpa adanya penahan berupa akar-akar pepohonan besar...”
 
“Langkah terdekat yang harus kita lakukan adalah penyiapan dan sosialisasi peringatan tanda bahaya. Lalu menyiapkan sarana dan prasarana proses evakuasi. Sementara itu harus dilakukan penghijauan bukit gundul tersebut yaitu dengan menanaminya pepohonan dan tanaman pencegah erosi,” ujar Partomo.
 
Dalam kesempatan itu pula, kepala desa meminta para pemuda untuk menjadi garda terdepan pada pelaksanaan langkah-langkah tersebut.
 
“Sudah waktunya pemuda kita menjadi pembawa perubahan. Bahkan sejatinya sejarah panjang negeri ini juga menunjukkan bahwa pemuda adalah pelopor dan penggerak perubahan...”
 
Namun belum selesai pak kades berbicara, tiba-tiba terjadi keributan di barisan belakang pendapa itu. Seorang warga berlari tergopoh-gopoh menghampiri kepala desa,
“Pak kades! Pak kades! Desa sebelah longsor pak! Longsor di Desa Tawangargo!” serunya terbata-bata sambil menunjukkan video di hpnya yang dibagikan oleh temannya dari desa sebelah yang terkena bencana itu. 
      
Seketika itu juga acara rembuk desa itu bubar. Tanpa dikomando mereka segera bergegas menuju ke Desa Tawangargo untuk memberikan pertolongan.
 
“Tetap waspada! Hati-hati longsor susulan!” teriak P sesampai di lokasi kejadian.
 
Tetapi belum hilang gema suaranya, terdengar suara gemuruh yang keras dari atas bukit. Sebuah bongkahan besar tanah bergulung dan meluncur deras, menyeret ribuan batu besar dan kecil serta pepohonan yang tersisa.
 
“Awas..!”
“Allahu Akbar!”
 
Jerit kepanikan terdengar dimana-mana. Orang-orang yang pada longsor sebelumnya masih belum beranjak dari tempat itu, sontak semburat. Mereka berlarian, jatuh, terinjak, tapi segera bangkit dan berlari lagi. Beruntung beberapa pemuda di sana segera sigap mengatur. Rute-rute evakuasi yang harus dilalui diteriakkan keras-keras.
 
“Lewat sini!”
“Lari ke seberang sungai!”
“Ayo cepat. Cepat!” terdengar teriakan-teriakan dari beberapa pemuda.
 
Tawangargo berduka. Belasan rumah roboh, sebagian bahkan tidak berbentuk lagi tersapu aliran lumpur dan bebatuan. Desa menjadi nampak sebagai kuburan lumpur yang luas!
 
Yang terdengar kemudian adalah jerit tangis anak-anak yang mencari ibunya dengan kaki terendam lumpur. Ada pula teriakan-teriakan orang yang memanggil-manggil nama keluarganya, bersahutan dengan seruan yang memanggil Asma Allah. Ditingkah suara-suara lain yang memberi aba-aba evakuasi karena longsor susulan masih mungkin terjadi lagi. Hujan masih deras mengguyur desa di lereng bukit itu.

*****

Mentari pagi bersinar terang keesokan harinya, seolah tak mengetahui kepedihan Warga Desa Tawangargo. Partijah bersama Partomo dan pak kades masih memerlukan datang kembali ke desa itu. Masih ada banyak kesibukan di sana yang dilakukan warga, tim SAR, BPBD, TNI & POLRI, serta elemen masyarakat lainnya. Namun ada sebuah berita menggembirakan dari pak kades setempat, yaitu bahwa dalam bencana kemarin tidak terdapat satu korban jiwa pun, kecuali ternak dan kerugian fisik bangunan.
 
Satu hal yang tidak diduga adalah ternyata banyak pemuda di sana yang sempat memperhatikan peringatan Partijah melalui postingan-postingannya di medsos. Sehingga meski agak terlambat, namun di saat terakhir mereka masih sempat mengatur proses evakuasi warga.
 
Ketika kemudian Partijah dan Partomo menceritakan keadaan Desa Tawangargo kepada Mbok Karmo, Mbok Karmo berucap lirih, “Syukurlah jika semuanya selamat nduk. Allah Maha Pengasih.”
 
Ada senyum syukur di wajah tuanya, namun setitik air mata juga mengalir membasahi pipinya. Kenangan lama atas bencana serupa di masa perantauannya dua puluh tahun silam kembali terungkit, saat suaminya justru tewas di depan matanya dan di hadapan Partijah kecil.
 
Partomo yang telah mengetahui kisah itu dari Partijah segera merengkuh tangan Mbok Karmo, “Simbok jangan bersedih lagi. Semua yang terjadi adalah seturut kehendak Yang Maha Kuasa dan atas seizinNya. Kita semua hanya wajib berusaha dan memohon kepadaNya.”
 
“Kamu anak yang baik Partomo,” kata Mbok Karmo yang kemudian menatap Partijah.
Segurat rona merah membayang di pipi Partijah yang menunduk. Namun sebuah senyum simpul tersungging manis di bibirnya. 
                         
                        TAMAT

No comments:

Post a Comment

Salam kenal...