Mentari fajar baru saja bersinar. Sentuhan hangatnya
menyapa titik-titik embun yang masih menggayut di ujung dedaunan. Seorang
perempuan nampak membuka pintu rumah. Kulit sawo matangnya yang khas perempuan
desa, tidak mengurangi keelokan alaminya. Terlebih ada sesungging senyum di
bibirnya.
Hari itu memang hari istimewa bagi Partijah.
Postingan-postingannya di media sosial ternyata mendapatkan banyak respon
positif. Bahkan mengundang beberapa pegiat lingkungan dari kota hadir di desa
itu. Hal ini membuat Partijah sangat bergembira, apalagi hari itu, bersama
beberapa orang pegiat lingkungan, akhirnya ia diundang kepala desa untuk hadir
dalam rembuk desa.
Namun ternyata acara rembuk desa tersebut tidak
berjalan sebagaimana yang ia harapkan. Seorang pemuda berteriak lantang, “Ini
hoax kalau ada yang bilang bukit ini mau runtuh! Apalagi sampai menyuruh kami
mengungsi!”
Beberapa orang menimpali dengan teriakan-teriakan
senada membuat suasana menjadi gaduh.
“Ini semua pasti gara-gara Mbak Partijah!”
“Ya! Ini ulah Mbak Partijah!” teriak yang lain.
“Bukan hanya Partijah, tapi juga orang kota yang
mengaku pegiat lingkungan hidup itu,” seru Bejo tak kalah keras.
Tentu Partomo lah yang dimaksud Bejo sebagai orang
kota, mantan kawan kuliah Partijah sebelum ia memutuskan untuk kembali ke
desanya. Dialah yang paling intens berhari-hari berjalan bersama Partijah
mengelilingi bukit gundul itu.
Suasana semakin gaduh dengan semua mata menatap Partijah
dan Partomo, yang duduk di sebelah kepala desa. Tetapi Partijah tidak
menundukkan wajahnya. Bahkan kemudian dengan seijin kepala desa, ia berbicara
dengan lugas,
“Bapak-ibu, dan teman-teman Warga Desa Girimulyo yang
saya hormati. Saya tahu bahwa banyak yang tidak suka dengan apa yang saya
lakukan, sehingga kemudian banyak suara-suara yang menyudutkan saya.”
“Ada yang mengatakan bahwa saya mencari popularitas
supaya medsos saya dibanjiri subscriber dan follower. Ada yang bilang bahwa
demi penghasilan dari medsos itu, saya tega membuat berita hoax ini. Itu sama
sekali tidak benar! Meskipun tidak saya pungkiri bahwa medsos adalah sumber
penghasilan saya disamping sekotak kecil sawah yang hasilnya dibagi dengan
penggarapnya. Akan tetapi tidak mungkin bagi saya, demi mengejar uang, saya
mengarang-ngarang cerita tentang bahaya longsor ini. Apalagi ini menyangkut
ketenteraman hidup tetangga-tetangga saya sendiri. Yang saya lakukan ini adalah
semata karena kekhawatiran saya atas keselamatan kita semua!”
Masih ada hal-hal lain yang disampaikan Partijah dengan
cukup emosional. Semua terdiam! Barulah sejenak kemudian bapak kepala desa
mengajak untuk kembali ke pokok persoalan, lalu memberi kesempatan kepada Partomo
untuk memberikan pemaparan.
Dengan tenang Partomo memaparkan fakta-fakta temuannya
di bukit itu. Ia mencoba untuk tidak terpengaruh pada keributan sebelumnya.
“...Jadi, tanah lempung yang lembut dan berpasir di
bukit itu akan bertambah berat karena mengandung air hujan. Sementara tanah dan
bebatuan keras yang kedap air pada lapisan di bawahnya akan menjadi bidang
gelincir, yang memudahkan lapisan tanah di atasnya bergerak longsor karena
sudut kemiringan yang cukup besar serta tanpa adanya penahan berupa akar-akar
pepohonan besar...”
“Langkah terdekat yang harus kita lakukan adalah
penyiapan dan sosialisasi peringatan tanda bahaya. Lalu menyiapkan sarana dan
prasarana proses evakuasi. Sementara itu harus dilakukan penghijauan bukit
gundul tersebut yaitu dengan menanaminya pepohonan dan tanaman pencegah erosi,”
ujar Partomo.
Dalam kesempatan itu pula, kepala desa meminta para
pemuda untuk menjadi garda terdepan pada pelaksanaan langkah-langkah tersebut.
“Sudah waktunya pemuda kita menjadi pembawa perubahan.
Bahkan sejatinya sejarah panjang negeri ini juga menunjukkan bahwa pemuda
adalah pelopor dan penggerak perubahan...”
Namun belum selesai pak kades berbicara, tiba-tiba
terjadi keributan di barisan belakang pendapa itu. Seorang warga berlari
tergopoh-gopoh menghampiri kepala desa,
“Pak kades! Pak kades! Desa sebelah longsor pak!
Longsor di Desa Tawangargo!” serunya terbata-bata sambil menunjukkan video di
hpnya yang dibagikan oleh temannya dari desa sebelah yang terkena bencana itu.
Seketika itu juga acara rembuk desa itu bubar. Tanpa
dikomando mereka segera bergegas menuju ke Desa Tawangargo untuk memberikan
pertolongan.
“Tetap waspada! Hati-hati longsor susulan!” teriak P
sesampai di lokasi kejadian.
Tetapi belum hilang gema suaranya, terdengar suara
gemuruh yang keras dari atas bukit. Sebuah bongkahan besar tanah bergulung dan
meluncur deras, menyeret ribuan batu besar dan kecil serta pepohonan yang
tersisa.
“Awas..!”
“Allahu Akbar!”
Jerit kepanikan terdengar dimana-mana. Orang-orang
yang pada longsor sebelumnya masih belum beranjak dari tempat itu, sontak semburat.
Mereka berlarian, jatuh, terinjak, tapi segera bangkit dan berlari lagi. Beruntung
beberapa pemuda di sana segera sigap mengatur. Rute-rute evakuasi yang harus
dilalui diteriakkan keras-keras.
“Lewat sini!”
“Lari ke seberang sungai!”
“Ayo cepat. Cepat!” terdengar teriakan-teriakan dari
beberapa pemuda.
Tawangargo berduka. Belasan rumah roboh, sebagian
bahkan tidak berbentuk lagi tersapu aliran lumpur dan bebatuan. Desa menjadi
nampak sebagai kuburan lumpur yang luas!
Yang terdengar kemudian adalah jerit tangis anak-anak
yang mencari ibunya dengan kaki terendam lumpur. Ada pula teriakan-teriakan
orang yang memanggil-manggil nama keluarganya, bersahutan dengan seruan yang
memanggil Asma Allah. Ditingkah suara-suara lain yang memberi aba-aba evakuasi
karena longsor susulan masih mungkin terjadi lagi. Hujan masih deras mengguyur
desa di lereng bukit itu.
*****
Mentari pagi bersinar terang keesokan harinya, seolah
tak mengetahui kepedihan Warga Desa Tawangargo. Partijah bersama Partomo dan
pak kades masih memerlukan datang kembali ke desa itu. Masih ada banyak
kesibukan di sana yang dilakukan warga, tim SAR, BPBD, TNI & POLRI, serta
elemen masyarakat lainnya. Namun ada sebuah berita menggembirakan dari pak
kades setempat, yaitu bahwa dalam bencana kemarin tidak terdapat satu korban
jiwa pun, kecuali ternak dan kerugian fisik bangunan.
Satu hal yang tidak diduga adalah ternyata banyak
pemuda di sana yang sempat memperhatikan peringatan Partijah melalui
postingan-postingannya di medsos. Sehingga meski agak terlambat, namun di saat
terakhir mereka masih sempat mengatur proses evakuasi warga.
Ketika kemudian Partijah dan Partomo menceritakan
keadaan Desa Tawangargo kepada Mbok Karmo, Mbok Karmo berucap lirih, “Syukurlah
jika semuanya selamat nduk. Allah Maha Pengasih.”
Ada senyum syukur di wajah tuanya, namun setitik air
mata juga mengalir membasahi pipinya. Kenangan lama atas bencana serupa di masa
perantauannya dua puluh tahun silam kembali terungkit, saat suaminya justru
tewas di depan matanya dan di hadapan Partijah kecil.
Partomo yang telah mengetahui kisah itu dari Partijah
segera merengkuh tangan Mbok Karmo, “Simbok jangan bersedih lagi. Semua
yang terjadi adalah seturut kehendak Yang Maha Kuasa dan atas seizinNya. Kita
semua hanya wajib berusaha dan memohon kepadaNya.”
“Kamu anak yang baik Partomo,” kata Mbok Karmo yang
kemudian menatap Partijah.
Segurat rona merah membayang di pipi Partijah yang
menunduk. Namun sebuah senyum simpul tersungging manis di bibirnya.
TAMAT