Part 2- Hujan Masih Akan Turun di Tawangmangu
"Ini...
Mas Arya kan? Eh..apa kabar mas?" Aryani berusaha mengucapkan kalimatnya
sewajar mungkin, namun bagaimanapun masih terdengar getar suaranya.
"Aku baik
Ryani. Maaf tempo hari, di acara itu aku tidak menyapamu."
"Gakpapa.
Saya maklum kok mas."
Uh...Aryani
mengeluh dalam hati, "Mengapa harus pakai kata maklum? Apa aku memaklumi
dia yang tidak menyapaku karena dia sedang bersama perempuan cantik itu?"
"Terimakasih
Ryani engkau memaklumi..."
Sejenak Arya
berhenti, baru kemudian lanjutnya, "Kamu sekarang tinggal di mana
Ry?"
"Di
Semarang mas."
"Oh ya?
Dan sekarang apa kamu sudah kembali ke Semarang?"
"Iya...eh
belum. Aku masih di Solo mas," jawab Aryani agak terbata-bata.
"Masih di
Solo?"
"Di
mana?"
"Aku masih
tetap tinggal di Solo."
"Apa aku
bisa ke tempatmu?"
Dengan beruntun
Arya bertanya. Namun tiba-tiba seperti menyadari sesuatu, ia terdiam sebentar. Lalu berkata perlahan,
"Eh..maaf, dengan siapa kamu di sini?"
"Saya di
Solo sendirian mas," jawab Aryani pelan, namun tiba-tiba sekilas
dilihatnya Bu Hartati berdiri. Maka segera disambungnya, "Oya mas, nanti
telponnya disambung lagi bisa ya? Maaf ini saya sedang bertamu ke rumah seorang
rekanan."
"Oh
begitu. Aku yang maaf Ryani. Aku nggak tahu. Nanti kita sambung lagi...kalau
engkau tidak keberatan."
"Ok
mas..." Aryani, juga Arya, cukup bingung untuk memilih kata perpisahan
yang pas. Masih cukup pantaskah bagi mereka untuk sekedar mengucapkan
'daahh...' ?
Ditutupnya
panggilan telpon Arya. Sebentar ia ragu, namun kemudian di savenya nomor hp itu
di kontaknya: Mas Arya.
"Ah..
mengapa aku lupa bertanya, darimana Mas Arya memperoleh nomer hpku? Mengapa aku
buru-buru memintanya menutup telpon?Dan benarkah dia akan menelponku
lagi?" sesaat Aryani mengeluh dalam hatinya.
Namun kemudian
ia berpaling ke Bu Hartati, "Maaf bu. Ini barusan telpon dari teman
lama."
*******
Aryani mulai
bisa bernafas lega ketika mobil yang disetirnya mulai terlepas dari kemacetan.
Rute-rute macet di jalanan Kota Solo yang dilaluinya sepanjang siang tadi
betul-betul menyiksanya. Mau bagaimana lagi memang daerah-daerah itulah yang
ditujunya untuk mencari contoh kain buat Bu Hartati. Dan ternyata tidak gampang
mendapatkan kain yang sesuai dengan keinginannya sehingga ia harus berpindah
dari satu tempat ke tempat lain. Tapi syukurlah, akhirnya ia mendapatkan apa
yang dicarinya.
Aryani
memperlambat laju mobilnya ketika ia melewati kampus Universitas Negeri Sebelas
Maret. Kampus tempat Arya kuliah dulu. Kampusnya juga, tempat dimana ia
mendapatkan gelar sarjana seni desain tekstilnya. Kampus yang banyak memberinya
kenangan indah, namun juga kenangan pahit, yang terus mengikutinya hingga kini.
Mobilnya
kembali melaju, dan terus melaju hingga melewati Palur. Aryani berdesah. Ia
masih harus menyetir sekitar 40 km menuju hotelnya di Tawangmangu. Perjalanan
yang sangat panjang hanya untuk sekedar mendapatkan kamar tidur.
Lalu apa yang
sebenarnya ia cari di Tawangmangu? Kenangan indahkah? Atau justru kepahitan,
yang lagi-lagi ia rasakan seperti saat ini? Saat ketika sekali lagi harapannya
sirna. Saat ia menunggu-nunggu telpon Arya lagi, yang mungkin bahkan sudah
melupakannya sekarang. Lagipula, untuk apa sebenarnya ia berharap telponnya
bila ternyata ia sudah tak bisa berharap kehadirannya lagi di hidupnya?
Aryani
menyalakan tape mobilnya untuk menghalau gundahnya. Sebuah lagu rohani yang
terdapat pada flashdisknya mengalun lembut. Dicobanya untuk ikut menyanyikan
lagu-lagu itu, dan merasakan sentuhan lirik-liriknya untuk menentramkan
hatinya. "JanjiMu sperti fajar pagi
hari..yang tiada pernah terlambat bersinar..cintaMu sperti sungai yang
mengalir..dan ku tahu betapa dalam kasihMu..."
Tiba-tiba
terdengar bunyi hp berdering. Sepintas Aryani menengok layar hpnya yang menyala
yang ia letakkan di kursi sebelah kirinya.
"Mas
Arya...," desis Aryani yang buru-buru meminggirkan mobilnya.
Diakui atau
tidak, meski tadi ia sempat berusaha melupakan, ada rasa bahagia yang menyeruak
di hatinya mendapatkan panggilan telpon yang telah ditunggunya sedari pagi.
Aryani menarik
nafas dalam-dalam untuk menenteramkan debar dadanya sebelum ia menjawab,
"Ya Mas Arya?"
"Maaf
Ryani...apa aku mengganggumu?"
"Ah tidak
mas...sama sekali tidak mengganggu," ujar Aryani dengan perasaan campur
aduk; bahagia, gelisah, kecewa, berharap, takut, dan entah apa lagi.
"Kamu lagi
dimana? Kalau kamu gak keberatan, apa kita bisa ketemuan?" suara Arya
terdengar ragu.
Kerongkongan
Aryani tercekat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba itu. Sekejap ia
membisu dan ragu. Di satu sisi, begitu besar hasratnya untuk bertemu, namun di
sisi lain betapa takutnya ia untuk mengungkit luka yang telah sepuluh tahun
dipendamnya.
"Ryani...?"
"Ryani,
maaf kalau memang kamu tidak bisa. Aku gakpapa kok," Arya berhenti
sebentar menunggu reaksi Aryani, lalu lanjutnya, "Ehm..omong-omong sudah
berapa lama kamu tinggal di Semarang?" kata Arya mencoba mencairkan
suasana kaku itu.
"Mas Arya,
sekarang ini posisi saya masih di Palur. Saya bisa kok buat ketemuan. Terserah
Mas Arya mau dimana. Tapi ini saya sedang dalam perjalanan menuju ke
Tawangmangu," tiba-tiba saja rangkaian kalimat itu terloncat begitu saja
dari mulut Aryani tanpa ia menjawab pertanyaan Arya yang terakhir.
"Mau ke
Tawangmangu?"
"Iya, saya
menginap di sana," tiba-tiba Aryani merasakan pipinya panas. Ada perasaan
menyesal dan malu atas pengakuannya itu.
"He..kebetulan,
ini aku lagi di Cemorosewu. Ada urusan dengan petani sayur di sini. Makanya,
sebetulnya sudah dari pagi tadi aku mau menelponmu lagi, tapi di puncak gunung
begini hpku susah mendapat sinyal," Arya berhenti sebentar, kemudian,
"Kalau begitu, bagaimama kalau nanti ketemuan di Tawangmangu aja?"
Dada Aryani
berdebar. Apa dia tidak salah menilai pendengarannya? Sepertinya ia menangkap
nada gembira pada kalimat-kalimat Arya barusan.
"Boleh
mas. Nanti saya shareloc kalau saya sudah sampai."
"Terimakasih
Ryani...terimakasih banyak.." terdengar nada serius pada ucapan Arya.
"Ok mas,
sampai nanti..."
Aryani menghela
nafas dalam-dalam. Beberapa lama hpnya ia tekankan di dadanya, seolah ia
mencari kekuatan untuk menahan degub jantung yang tak mau ditenangkannya.
*****
Dalam pada itu,
di Semarang, seorang lelaki muda turun dari mobilnya, sebuah Honda HRV yang
sudah dimodifikasi dan diberi aneka aksesori.
Seorang
pembantu membukakan pintu pagar dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.
Rumah keluarga Aryani.
"Nak Wisnu
baru pulang dinas?" tanya Bu Sundari, ibu Aryani, demi dilihatnya Wisnu
yang datang dengan menggunakan seragam PNS.
"Oh tidak
bu, ini belum jamnya pulang. Habis ini saya masih harus kembali ke
kantor," kata Wisnu sambil melirik arloji mewahnya.
"Wah, apa
ada perlu penting sampai harus bolak-balik sini kantor?"
"Sebenarnya
tidak ada bu, eh tapi mungkin bisa juga dibilang penting."
"Ini bu,
kebetulan tadi saya makan siang di luar kantor. Saya makan di restoran, kok
ternyata ayam bakarnya enak sekali. Saya jadi teringat ibu, makanya ini saya
belikan ayam bakar buat ibu," kata Wisnu sambil menyerahkan dua kotak dus
ayam bakar merk terkenal.
"Lho..Nak
Wisnu kok repot-repot sekali? Tapi terimakasih banyak lho, ibu memang suka
banget dengan ayam bakar," kata Bu Sundari dengan wajah berseri.
"Iya bu,
sama-sama," lalu lanjutnya, "Oya, Aryani apa sudah pulang bu?
"Belum.
Tadi pagi ibu telpon dia, katanya sih besok siang atau malam begitu, soalnya
dia masih harus cari contoh bahan kain buat rekanannya produsen di sana."
"Begitu ya
bu?" Wisnu berhenti sebentar, kemudian, "Oya bu, apa ibu tahu, di
Solo Aryani menginap di mana ya? Barangkali saya bisa susul dia buat bantu
setir mobilnya. Kasihan mungkin dia capek?"
"Lho terus
Nak Wisnu ke Solo naik apa?"
"Kalau
saya sih gampang bu. Saya bisa naik taxi, atau travel, atau naik bis
sekalipun."
Sejenak Bu
Sundari berpikir. Betapa pun ia senang dengan Wisnu yang anak pensiunan
pejabat, yang sekarang pun dia sudah punya jabatan sebagai PNS, yang kaya, dan
yang juga pandai mengambil hatinya, namun untuk membiarkan dia menyusul Aryani
ke Solo? Ke hotelnya?
"Ah biar
saja Aryani pulang sendiri Nak Wisnu. Perjalanan Solo Semarang kan singkat
saja. Apalagi semenjak ada jalan tol. Nak Wisnu tidak usah repot-repot menyusul
ke sana"
"Tidak kok
bu, sama sekali tidak merepotkan saya."
"Tapi
nanti Nak Wisnu terpaksa harus bolos kantor lagi? Kan besok hari kerja. Atau
Nak Wisnu sebaiknya tanya ke Aryani sendiri saja. Apa mau dijemput atau
tidak?"
Wisnu terdiam.
Justru kedatangannya ke Bu Sundari adalah untuk menanyakan tempat Aryani
menginap. Juga untuk mendapatkan dukungan supaya dia punya alasan untuk
menyusul Aryani ke Solo. Karena dari kemarin WAnya ke Aryani masih belum
dibaca. Sedangkan panggilan telponnya pun tidak diangkatnya.
Namun dia tak
ingin mengatakan itu kepada Bu Sundari. Yang dikatakannya hanyalah,
"Baiklah bu, kalau begitu biar nanti saya akan hubungi Aryani sendiri
aja."
"Saya
pamit pulang dulu bu."
"Maksudnya
Nak Wisnu kembali ke kantor?"
"Oh iya,
iya betul bu. Tentu ke kantor lagi." jawab Wisnu tergagap dengan wajah
yang terasa panas.
Namun ternyata
Wisnu sama sekali tidak mengarahkan mobilnya untuk kembali ke kantor. Tujuannya
adalah ke kafe langganannya, menunggu jam pulang kantor, sambil mencoba
menelpon Aryani lagi.
"Siapa tau
hari ini aku beruntung bisa menjemputnya ke Solo?" kata Wisnu
berangan-angan.
*****
Aryani berusaha
memacu mobilnya lebih cepat. Ada sesuatu yang menggelisahkannya untuk segera
sampai di hotelnya. Meski ia sudah semakin dekat dengan Tawangmangu, namun
jalanan berkelok-kelok itu cukup menghambatnya. Dan lagi, tiba-tiba hujan turun
dengan derasnya.
Gumpalan-gumpalan
air tiba-tiba seperti dilontarkan begitu saja pada kaca dan atap mobilnya.
Suara gemuruhnya menenggelamkan alunan lagu dari tape mobil yang akhirnya
dimatikan. Aryani menyetel wipernya pada kecepatan maksimal. AC mobil juga diaturnya
lebih dingin untuk menghalau embun pada kaca mobilnya. Tetapi tetap saja
jalanan masih telihat kabur, sehingga Aryani terpaksa harus mengendarai
mobilnya dengan perlahan.
Beberapa kali
Aryani membuang nafas dengan agak kesal. Seandainya saja perjalanannya tidak
terhambat oleh telpon Wisnu barusan yang berkepanjangan, sekarang ini tentu ia
sudah sampai di hotel. Mana telponnya pakai panggilan video call lagi sehingga
ia terpaksa harus berhenti beberapa lama.
"Seandainya
saja Mas Wisnu bukan putera Pak Barni, mantan atasan papa. Dan seandainya saja
aku tidak cemas bakal menyusahkan hati mama," desah Aryani.
"Mama juga
sih yang terlalu memberi harapan ke Mas Wisnu sehingga dia tidak dapat menilai
sikapku kepadanya selama ini..," keluh Aryani dalam hati.
"Ngapain
juga Mas Wisnu pakai bujuk-bujuk mau jemput ke Solo segala? Isteri bukan, pacar
juga bukan," Aryani masih mengomel.
Hati Aryani
semakin galau manakala ia ingat janjinya untuk ketemu dengan Arya.
"Apakah
Mas Arya sudah lama menungguku di Tawangmangu? Ataukah dia sudah bosan menunggu
lalu pulang? Oh..." segumpal kecemasan menyesak dada Aryani.
...bersambung...
No comments:
Post a Comment
Salam kenal...