Sunday 23 October 2022

Part 3- Hujan Masih Akan Turun di Tawangmangu



Jalanan masih menanjak terus. Aryani masih mengendarai mobilnya dengan hati-hati meski hatinya gelisah. Namun tiba-tiba perhatiannya tertuju pada sebuah sepeda motor yang melaju dari arah berlawanan. Sepeda motor yang berjalan cukup pelan menuruni jalanan berkelok di tengah hujan lebat. Aryani terus memperhatikan sepeda motor yang semakin dekat itu. Dan bahkan sempat menengok ketika sepeda motor tersebut tepat berpapasan dengan mobilnya.


Penumpangnya adalah sepasang muda-mudi. Terlihat olehnya si pemuda menyetir motornya dengan tatapan lurus ke depan. Wajahnya terlihat mengeras dengan rahang yang terkatup, nampak seperti ada beban teramat berat di sana. Sementara si gadis yang dibonceng di belakang nampak menangis terisak-isak meski ia tetap memeluk erat si pemuda.

"Apakah yang membuat mereka terlihat begitu sedih?" tanya hati Aryani.

Aryani menghela nafas dalam-dalam menenteramkan dadanya yang berdebaran. Pemandangan yang dilihatnya itu mengingatkannya pada kenangan sepuluh tahun lalu.

Di jalanan berkelok ini, ia memang banyak merasakan saat-saat indah bersama Arya. Saat mereka biasa menghabiskan akhir pekan mereka ke Air Terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu. Mereka melalui jalanan ini dengan tawa, dengan pelukan mesra yang membahagiakan.

Namun, di jalanan berkelok ini pula, suatu saat ia melewatinya di hari yang paling disesalinya dalam hidupnya.
Saat ia dan Arya, sebagaimana pasangan kekasih tadi, menuruni jalanan ini di atas motor dalam hujan lebat, dengan berurai air mata.

Saat itu, rasa putus asa yang mendalam sedang membutakan mata mereka. Kegagalan demi kegagalan dalam memperjuangkan cinta mereka yang tak direstui, membekukan nalar mereka. Juga dinginnya hujan di pegunungan yang menumbuhkan hasrat untuk mendapatkan kehangatan. Di saat hasrat cinta yang terkekang mencari muaranya. Lalu penyesalan yang begitu dalam membuat mereka tak menghiraukan lagi betapa pun lebatnya hujan, untuk mereka segera pergi meninggalkan Tawangmangu melalui jalanan berkelok-kelok ini. Dengan berurai air mata.

Aryani menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir kenangan pahit atas kejadian itu. Kejadian yang begitu mereka sesali. Meski kejadian itu hanya sekali, dan tak pernah lagi terulang sepanjang hidupnya, namun seolah membekaskan noda yang tak pernah bisa hilang pada dirinya, meski dia telah membuat pengakuan dosa pada Tuhannya.

Aryani terbangun dari lamunannya ketika terlihat olehnya pintu gerbang hotel tempat ia menginap. Seolah baru sadar, tiba-tiba ia ragu dimanakah ia akan shareloc untuk menemui Arya? Apakah ia akan menemuinya di hotel? Apakah nanti tidak timbul anggapan yang kurang pantas bahwa seorang wanita mengajak bertemu seorang pria di sebuah hotel? Tapi jika tidak di hotel, lalu dimana?

Aryani semakin bingung ketika ia sudah tepat berada di pintu gerbang hotelnya. Namun ia tidak berhenti.

"Biarlah apa kata Mas Arya, atau siapa pun. Toh aku akan menemui Mas Arya di lobby, bukannya di kamar," demikian akhirnya Aryani mengambil keputusan.

Maka sejenak kemudian, begitu turun mobil disempatkannya untuk share lokasi hotelnya ke Arya. Baru kemudian ia melangkah masuk dan langsung menuju ke kamarnya. Sementara hujan pun telah reda.

*****

Keluar dari kamar mandi, Aryani mematut diri di depan cermin kamarnya.

"Apakah aku harus ganti baju?" tanyanya pada diri sendiri.

"Ehm...sepertinya nggak perlu. Aku pantes kok pakai baju ini," desisnya sambil sedikit merapikan bajunya.

"Aku tambahkan aja lipsticknya biar terlihat segar," lalu diusapkannya lipstick pada bibirnya yang indah.

Sejenak Aryani memandang bayangan wajahnya di cermin. Sangat cantik! Namun kemudian dia mendekatkan wajahnya, "Ah norak, lipstickku terlalu tebal, seperti perempuan penggoda laki-laki aja," maka diambilnya sehelai tisu dan buru-buru sedikit dihapusnya lipstick di bibirnya.

Aryani masih mematut diri di depan cermin ketika hpnya berdering.

"Halo mas...,"
"Apa? Sudah di depan hotel?"
"Iya, baik, saya segera turun mas."

Agak tergagap Aryani bersiap keluar kamarnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Arya datang secepat itu. Kurang dari 10 menit dari saat dia shareloc.

Sesampai di lobby Aryani menengok kiri kanan. Semua kursi di lobby nampak kosong. Yang dicarinya tak juga nampak. Namun ketika Aryani bersiap untuk menelpon Arya, dilihatnya seseorang melambaikan tangannya di luar hotel.

Aryani melangkah keluar hotel. Dilihatnya seorang laki-laki tiga puluh lima tahunan berdiri di dekat parkiran hotel. Sebuah senyum manis tersungging di wajah tampannya. Tubuhnya cukup tinggi, proporsional dengan badannya yang atletis. Dia, seorang laki-laki yang mampu untuk tetap menggelorakan degub jantungnya, meski sudah sepuluh tahun tak dijumpainya. Arya.

Arya mengulurkan tangannya menyalami Aryani. Telapak tangannya yang sedikit kasar menggenggam tangan Aryani, mengalirkan desiran-desiran di jantung Aryani.

"Hai Ry, senang jumpa kamu lagi," sapa Arya dengan wajah cerah.

Sejenak Aryani masih terguncang karena getaran-getaran di dadanya. Namun kemudian dia dapat menguasai dirinya.

"Senang juga jumpa kamu mas," lalu katanya kemudian, "Lho kok gak masuk mas?"

"Nggak lah, kamu lihat kan, celana dan sebagian bajuku? Basah kuyup!"

"Mas Arya naik sepeda motor?"

"Iya, tuh aku parkir di situ," ujar Arya sambil menunjuk ke arah deretan motor di parkiran itu.

"Kan sudah nggak hujan mas? Kok basah kuyup kehujanan dimana?"

"Sekarang memang sudah nggak hujan Ry, tapi tadi pas aku perjalanan dari Cemorosewu ke Tawangmangu sini, aku kehujanan. Dan hujannya deras sekali," lalu sambung Arya, "Padahal aku pakai jas hujan, tapi ya tetep aja begini saking derasnya."

"Apa Mas Arya sampai Tawangmangu sudah dari tadi? Terus nunggu dimana mas?"

"Belum terlalu lama kok. Baru setengah jam-an yang lalu. Tadi aku nunggu di Pasar Tawangmangu."

"Pantesan mas datangnya cepet banget dari saat saya nge-shareloc."

Arya hanya tersenyum saja.

"Oh ya, kita baiknya bicara dimana? Masak sambil berdiri di sini?" tiba-tiba Arya bertanya.

"Yang jelas jangan di dalam hotel, celana dan bajuku basah semua," sambung Arya sambil tertawa kecil. Aryani pun terseyum.

"Ehm..bagaimana kalau di kebun belakang hotel aja mas?" tanya Aryani.

"Terserah kamu aja Ry. Kamu kan tuan rumah."

"Hehe...mas bisa aja," kini giliran Aryani yang tertawa kecil, menjadikannya nampak semakin memesona membuat Arya tak kuasa mengalihkan tatapannya.

Dan Aryani yang merasakan betapa dalamnya tatapan Arya tiba-tiba kembali tersipu.

"Mas...saya ambilkan handuk di kamar ya. Biar agak kering," Aryani berusaha mengelak dari suasana itu.

"Oh gak usah, gak usah, gak usah repot-repot Ry," ujar Arya buru-buru.

"Gak repot kok mas, daripada nanti kamu masuk angin."

"Haha...aku petani Ry, tiap hari kehujanan juga gak masalah."

Aryani tidak mendesak lagi. Maka mereka kemudian berjalan ke kebun belakang hotel.

Kebun di belakang hotel itu ternyata cukup luas dan ditata sangat apik, dengan berbagai macam tanaman daun dan bunga. Di bagian tengahnya, terdapat sebuah kolam renang dengan desain yang artistik. Terdapat pula sebuah pool bar di dekatnya. Lalu ada jalan setapak yang melingkar-lingkar menuju kolam renang itu dan juga mengelilingi hampir seluruh area di kebun itu. Beberapa bangku panjang dengan sebuah meja kecil nampak terlihat di antara berbagai tanaman. Di salah satu bangku taman itulah kemudian Aryani dan Arya duduk.

"Tunggulah sebentar," kata Aryani begitu Arya duduk.

"Kemana?"

"Sebentar aja," kata Aryani tanpa menjawab pertanyaan Arya.

Baru beberapa saat kemudian Aryani kembali. Ditangannya tergenggam sebuah handuk kolam renang yang kemudian diulurkannya kepada Arya.

"Pakailah...," ujarnya sambil tersenyum.

"Haha...kamu nggak gampang menyerah ya. Terimakasih Ryani..."

Tak berapa lama mereka berdua sudah terlibat percakapan dalam berbagai hal.

"Oo, jadi Mas Arya selalu naik motor kalau ke kebun sayur di Cemorosewu?"

"Iya Ry. Kalau aku bawa mobil malah susah kan? Karena harus berjalan kaki jauh dari tempat parkirnya."

Aryani mengangguk-angguk mengerti. Tadinya ia sempat bertanya dalam hati mengapa Arya tidak naik mobil, sementara ia tahu bahwa Arya berasal dari keluarga kaya, dan bahkan masih ada keturunan darah biru.

Sejenak pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pramusaji pool bar mengantarkan dua cangkir coffee latte dan sepiring snack.

"He...kamu sempat juga pesen ini Ry?" tanya Arya.

"Iya mas, biar kamu gak kedinginan dan kelaparan," jawab Aryani sambil tersenyum.

"Ayo mas, diminum dulu," Aryani mempersilahkan sambil dia juga mengangkat cangkirnya sendiri.

"Terimakasih Ry..."

Setelah minum beberapa teguk coffee lattenya, tiba-tiba Aryani bertanya, "Oya mas, Mas Arya dapat nomor hpku dari mana?"

"Ah bukankah itu soal mudah? Sesudah acara rapat HIPMI kemarin selesai, sebelum pulang aku sempat mampir ke meja panitia."

"Oo begitu..lalu wanita itu apa tidak...?" Aryani tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia menyesal terlanjur mengucapkannya begitu saja. Ada rasa jengah padanya untuk bertanya hal yang bersifat pribadi.

"Wanita siapa Ry?"

Dengan terpaksa Aryani menjawab, "Wanita yang datang dan duduk bersamamu..."

                             ...bersambung...
Comments
0 Comments

No comments: