Saturday, 22 October 2022

Part 2- Hujan Masih Akan Turun di Tawangmangu



"Ini... Mas Arya kan? Eh..apa kabar mas?" Aryani berusaha mengucapkan kalimatnya sewajar mungkin, namun bagaimanapun masih terdengar getar suaranya.
 
"Aku baik Ryani. Maaf tempo hari, di acara itu aku tidak menyapamu."
 
"Gakpapa. Saya maklum kok mas."
 
Uh...Aryani mengeluh dalam hati, "Mengapa harus pakai kata maklum? Apa aku memaklumi dia yang tidak menyapaku karena dia sedang bersama perempuan cantik itu?"
 
"Terimakasih Ryani engkau memaklumi..."
 
Sejenak Arya berhenti, baru kemudian lanjutnya, "Kamu sekarang tinggal di mana Ry?"
 
"Di Semarang mas."
 
"Oh ya? Dan sekarang apa kamu sudah kembali ke Semarang?"
 
"Iya...eh belum. Aku masih di Solo mas," jawab Aryani agak terbata-bata.
 
"Masih di Solo?"
"Di mana?"
"Aku masih tetap tinggal di Solo."
"Apa aku bisa ke tempatmu?"
 
Dengan beruntun Arya bertanya. Namun tiba-tiba seperti menyadari sesuatu,  ia terdiam sebentar. Lalu berkata perlahan, "Eh..maaf, dengan siapa kamu di sini?"
 
"Saya di Solo sendirian mas," jawab Aryani pelan, namun tiba-tiba sekilas dilihatnya Bu Hartati berdiri. Maka segera disambungnya, "Oya mas, nanti telponnya disambung lagi bisa ya? Maaf ini saya sedang bertamu ke rumah seorang rekanan."
 
"Oh begitu. Aku yang maaf Ryani. Aku nggak tahu. Nanti kita sambung lagi...kalau engkau tidak keberatan."
 
"Ok mas..." Aryani, juga Arya, cukup bingung untuk memilih kata perpisahan yang pas. Masih cukup pantaskah bagi mereka untuk sekedar mengucapkan 'daahh...' ?
 
Ditutupnya panggilan telpon Arya. Sebentar ia ragu, namun kemudian di savenya nomor hp itu di kontaknya: Mas Arya.
 
"Ah.. mengapa aku lupa bertanya, darimana Mas Arya memperoleh nomer hpku? Mengapa aku buru-buru memintanya menutup telpon?Dan benarkah dia akan menelponku lagi?" sesaat Aryani mengeluh dalam hatinya.
 
Namun kemudian ia berpaling ke Bu Hartati, "Maaf bu. Ini barusan telpon dari teman lama."
 
*******
 
Aryani mulai bisa bernafas lega ketika mobil yang disetirnya mulai terlepas dari kemacetan. Rute-rute macet di jalanan Kota Solo yang dilaluinya sepanjang siang tadi betul-betul menyiksanya. Mau bagaimana lagi memang daerah-daerah itulah yang ditujunya untuk mencari contoh kain buat Bu Hartati. Dan ternyata tidak gampang mendapatkan kain yang sesuai dengan keinginannya sehingga ia harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tapi syukurlah, akhirnya ia mendapatkan apa yang dicarinya.
 
Aryani memperlambat laju mobilnya ketika ia melewati kampus Universitas Negeri Sebelas Maret. Kampus tempat Arya kuliah dulu. Kampusnya juga, tempat dimana ia mendapatkan gelar sarjana seni desain tekstilnya. Kampus yang banyak memberinya kenangan indah, namun juga kenangan pahit, yang terus mengikutinya hingga kini.
 
Mobilnya kembali melaju, dan terus melaju hingga melewati Palur. Aryani berdesah. Ia masih harus menyetir sekitar 40 km menuju hotelnya di Tawangmangu. Perjalanan yang sangat panjang hanya untuk sekedar mendapatkan kamar tidur.
 
Lalu apa yang sebenarnya ia cari di Tawangmangu? Kenangan indahkah? Atau justru kepahitan, yang lagi-lagi ia rasakan seperti saat ini? Saat ketika sekali lagi harapannya sirna. Saat ia menunggu-nunggu telpon Arya lagi, yang mungkin bahkan sudah melupakannya sekarang. Lagipula, untuk apa sebenarnya ia berharap telponnya bila ternyata ia sudah tak bisa berharap kehadirannya lagi di hidupnya?
 
Aryani menyalakan tape mobilnya untuk menghalau gundahnya. Sebuah lagu rohani yang terdapat pada flashdisknya mengalun lembut. Dicobanya untuk ikut menyanyikan lagu-lagu itu, dan merasakan sentuhan lirik-liriknya untuk menentramkan hatinya.  "JanjiMu sperti fajar pagi hari..yang tiada pernah terlambat bersinar..cintaMu sperti sungai yang mengalir..dan ku tahu betapa dalam kasihMu..."
 
Tiba-tiba terdengar bunyi hp berdering. Sepintas Aryani menengok layar hpnya yang menyala yang ia letakkan di kursi sebelah kirinya.
 
"Mas Arya...," desis Aryani yang buru-buru meminggirkan mobilnya.
 
Diakui atau tidak, meski tadi ia sempat berusaha melupakan, ada rasa bahagia yang menyeruak di hatinya mendapatkan panggilan telpon yang telah ditunggunya sedari pagi.
 
Aryani menarik nafas dalam-dalam untuk menenteramkan debar dadanya sebelum ia menjawab, "Ya Mas Arya?"
 
"Maaf Ryani...apa aku mengganggumu?"
 
"Ah tidak mas...sama sekali tidak mengganggu," ujar Aryani dengan perasaan campur aduk; bahagia, gelisah, kecewa, berharap, takut, dan entah apa lagi.
 
"Kamu lagi dimana? Kalau kamu gak keberatan, apa kita bisa ketemuan?" suara Arya terdengar ragu.
 
Kerongkongan Aryani tercekat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba itu. Sekejap ia membisu dan ragu. Di satu sisi, begitu besar hasratnya untuk bertemu, namun di sisi lain betapa takutnya ia untuk mengungkit luka yang telah sepuluh tahun dipendamnya.
 
"Ryani...?"
 
"Ryani, maaf kalau memang kamu tidak bisa. Aku gakpapa kok," Arya berhenti sebentar menunggu reaksi Aryani, lalu lanjutnya, "Ehm..omong-omong sudah berapa lama kamu tinggal di Semarang?" kata Arya mencoba mencairkan suasana kaku itu.
 
"Mas Arya, sekarang ini posisi saya masih di Palur. Saya bisa kok buat ketemuan. Terserah Mas Arya mau dimana. Tapi ini saya sedang dalam perjalanan menuju ke Tawangmangu," tiba-tiba saja rangkaian kalimat itu terloncat begitu saja dari mulut Aryani tanpa ia menjawab pertanyaan Arya yang terakhir.
 
"Mau ke Tawangmangu?"
 
"Iya, saya menginap di sana," tiba-tiba Aryani merasakan pipinya panas. Ada perasaan menyesal dan malu atas pengakuannya itu.
 
"He..kebetulan, ini aku lagi di Cemorosewu. Ada urusan dengan petani sayur di sini. Makanya, sebetulnya sudah dari pagi tadi aku mau menelponmu lagi, tapi di puncak gunung begini hpku susah mendapat sinyal," Arya berhenti sebentar, kemudian, "Kalau begitu, bagaimama kalau nanti ketemuan di Tawangmangu aja?"
 
Dada Aryani berdebar. Apa dia tidak salah menilai pendengarannya? Sepertinya ia menangkap nada gembira pada kalimat-kalimat Arya barusan.
 
"Boleh mas. Nanti saya shareloc kalau saya sudah sampai."
 
"Terimakasih Ryani...terimakasih banyak.." terdengar nada serius pada ucapan Arya.
 
"Ok mas, sampai nanti..."
 
Aryani menghela nafas dalam-dalam. Beberapa lama hpnya ia tekankan di dadanya, seolah ia mencari kekuatan untuk menahan degub jantung yang tak mau ditenangkannya.
 
*****
 
Dalam pada itu, di Semarang, seorang lelaki muda turun dari mobilnya, sebuah Honda HRV yang sudah dimodifikasi dan diberi aneka aksesori.
 
Seorang pembantu membukakan pintu pagar dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah. Rumah keluarga Aryani.
 
"Nak Wisnu baru pulang dinas?" tanya Bu Sundari, ibu Aryani, demi dilihatnya Wisnu yang datang dengan menggunakan seragam PNS.
 
"Oh tidak bu, ini belum jamnya pulang. Habis ini saya masih harus kembali ke kantor," kata Wisnu sambil melirik arloji mewahnya.
 
"Wah, apa ada perlu penting sampai harus bolak-balik sini kantor?"
 
"Sebenarnya tidak ada bu, eh tapi mungkin bisa juga dibilang penting."
 
"Ini bu, kebetulan tadi saya makan siang di luar kantor. Saya makan di restoran, kok ternyata ayam bakarnya enak sekali. Saya jadi teringat ibu, makanya ini saya belikan ayam bakar buat ibu," kata Wisnu sambil menyerahkan dua kotak dus ayam bakar merk terkenal.
 
"Lho..Nak Wisnu kok repot-repot sekali? Tapi terimakasih banyak lho, ibu memang suka banget dengan ayam bakar," kata Bu Sundari dengan wajah berseri.
 
"Iya bu, sama-sama," lalu lanjutnya, "Oya, Aryani apa sudah pulang bu?
 
"Belum. Tadi pagi ibu telpon dia, katanya sih besok siang atau malam begitu, soalnya dia masih harus cari contoh bahan kain buat rekanannya produsen di sana."
 
"Begitu ya bu?" Wisnu berhenti sebentar, kemudian, "Oya bu, apa ibu tahu, di Solo Aryani menginap di mana ya? Barangkali saya bisa susul dia buat bantu setir mobilnya. Kasihan mungkin dia capek?"
 
"Lho terus Nak Wisnu ke Solo naik apa?"
 
"Kalau saya sih gampang bu. Saya bisa naik taxi, atau travel, atau naik bis sekalipun."
 
Sejenak Bu Sundari berpikir. Betapa pun ia senang dengan Wisnu yang anak pensiunan pejabat, yang sekarang pun dia sudah punya jabatan sebagai PNS, yang kaya, dan yang juga pandai mengambil hatinya, namun untuk membiarkan dia menyusul Aryani ke Solo? Ke hotelnya?
 
"Ah biar saja Aryani pulang sendiri Nak Wisnu. Perjalanan Solo Semarang kan singkat saja. Apalagi semenjak ada jalan tol. Nak Wisnu tidak usah repot-repot menyusul ke sana"
 
"Tidak kok bu, sama sekali tidak merepotkan saya."
 
"Tapi nanti Nak Wisnu terpaksa harus bolos kantor lagi? Kan besok hari kerja. Atau Nak Wisnu sebaiknya tanya ke Aryani sendiri saja. Apa mau dijemput atau tidak?"
 
Wisnu terdiam. Justru kedatangannya ke Bu Sundari adalah untuk menanyakan tempat Aryani menginap. Juga untuk mendapatkan dukungan supaya dia punya alasan untuk menyusul Aryani ke Solo. Karena dari kemarin WAnya ke Aryani masih belum dibaca. Sedangkan panggilan telponnya pun tidak diangkatnya.
 
Namun dia tak ingin mengatakan itu kepada Bu Sundari. Yang dikatakannya hanyalah, "Baiklah bu, kalau begitu biar nanti saya akan hubungi Aryani sendiri aja."
 
"Saya pamit pulang dulu bu."
 
"Maksudnya Nak Wisnu kembali ke kantor?"
 
"Oh iya, iya betul bu. Tentu ke kantor lagi." jawab Wisnu tergagap dengan wajah yang terasa panas.
 
Namun ternyata Wisnu sama sekali tidak mengarahkan mobilnya untuk kembali ke kantor. Tujuannya adalah ke kafe langganannya, menunggu jam pulang kantor, sambil mencoba menelpon Aryani lagi.
 
"Siapa tau hari ini aku beruntung bisa menjemputnya ke Solo?" kata Wisnu berangan-angan.
 
*****    
 
Aryani berusaha memacu mobilnya lebih cepat. Ada sesuatu yang menggelisahkannya untuk segera sampai di hotelnya. Meski ia sudah semakin dekat dengan Tawangmangu, namun jalanan berkelok-kelok itu cukup menghambatnya. Dan lagi, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
 
Gumpalan-gumpalan air tiba-tiba seperti dilontarkan begitu saja pada kaca dan atap mobilnya. Suara gemuruhnya menenggelamkan alunan lagu dari tape mobil yang akhirnya dimatikan. Aryani menyetel wipernya pada kecepatan maksimal. AC mobil juga diaturnya lebih dingin untuk menghalau embun pada kaca mobilnya. Tetapi tetap saja jalanan masih telihat kabur, sehingga Aryani terpaksa harus mengendarai mobilnya dengan perlahan.
 
Beberapa kali Aryani membuang nafas dengan agak kesal. Seandainya saja perjalanannya tidak terhambat oleh telpon Wisnu barusan yang berkepanjangan, sekarang ini tentu ia sudah sampai di hotel. Mana telponnya pakai panggilan video call lagi sehingga ia terpaksa harus berhenti beberapa lama.
 
"Seandainya saja Mas Wisnu bukan putera Pak Barni, mantan atasan papa. Dan seandainya saja aku tidak cemas bakal menyusahkan hati mama," desah Aryani.
 
"Mama juga sih yang terlalu memberi harapan ke Mas Wisnu sehingga dia tidak dapat menilai sikapku kepadanya selama ini..," keluh Aryani dalam hati.
 
"Ngapain juga Mas Wisnu pakai bujuk-bujuk mau jemput ke Solo segala? Isteri bukan, pacar juga bukan," Aryani masih mengomel.
 
Hati Aryani semakin galau manakala ia ingat janjinya untuk ketemu dengan Arya.
 
"Apakah Mas Arya sudah lama menungguku di Tawangmangu? Ataukah dia sudah bosan menunggu lalu pulang? Oh..." segumpal kecemasan menyesak dada Aryani.
 
                                                     ...bersambung...


Comments
0 Comments

No comments: