Hujan masih turun dengan derasnya di luar. Air bagai ditumpahkan dari langit. Begitu lebat,
hingga membuat suasana di luar nampak temaram meski jam masih menunjukkan pukul
tiga sore. Dan udara terasa begitu dingin menggigit tulang terlebih di
Tawangmangu, di dekat puncak Lawu ini.
Namun semua itu
tak menggoyahkan Aryani untuk tetap berdiri di depan jendela hotelnya. Gadis
cantik nan semampai itu hanya semakin mempererat syal yang melingkar di
lehernya untuk mengurangi rasa dingin. Tatapannya masih tertuju pada jalan
menurun yang berkelok-kelok, meski terhalang butiran-butiran air hujan yang
merayap-rayap di kaca jendelanya, meski terhalang butiran air hangat yang
menggenang di matanya.
Angannya
melayang, membawanya pada kenangan sepuluh tahun lalu, ketika dia juga melalui
jalanan menurun yang berkelok-kelok itu. Tidak sendiri seperti saat ini,
melainkan bersama Arya.
"He...mas
hati-hati..awas tikungan!" pekiknya.
Dengan
mendadak, sigap Arya membelokkan setir motornya. Sontak Aryani memeluk erat
tubuhnya. Wajahnya pucat. Namun Arya justru tertawa keras-keras.
"Kaget ya?
ujarnya tanpa bisa menahan tawanya.
"Ah..kamu
nakal. Pasti kamu sengaja!" dengan gemas Aryani mencubit Arya
bertubi-tubi.
"He..he...sakiiit...awas
nanti kita jatuh. Jalanan licin!"
"Oh.."
segera Aryani menghentikan cubitan-cubitannya ketika disadarinya laju motor
yang agak oleng ditengah hujan deras itu.
"Makanya,
nyetir motor yang bener. Lihatnya ke depan, jangan nengok-nengok aja!"
"Iya maaf,
soalnya tadi ada yang kelewatan."
"Oh, di
mana? Siapa yang kelewatan?"
"Kamu!"
"Lho?"
"Iya, kamu
yang kelewatan. Kelewatan cantiknya!"
"Ah...,"
desah Aryani sambil mencubit Arya. Lalu dengan manja, ia semakin merapatkan
tubuhnya memeluk Arya.
Aryani menghela
nafas panjang, seakan mau dipenuhinya paru-parunya dengan udara dingin di sore itu.
Namun tiba-tiba
angannya pudar ketika didengarnya getar dari hpnya yang di-
silent. Ada
panggilan masuk. Dengan segan ia melangkah ke pembaringannya. Lalu menengok
layar hp yang menyala itu.
"Mama...,"
desisnya dalam hati.
Sejenak ia
ragu. Lalu, "Ya ma..?"
"Yan..kamu
masih di Solo? Kok belum pulang ke Semarang?"
"Iya ma,
ini masih ada urusan. Mungkin besok atau lusa baru pulang."
"Lho,
bukannya acaranya sudah selesai tadi malam?"
"Mama kok
tau ma, kata siapa?"
"Tadi Mas
Wisnu ke rumah. Nyari kamu. Katanya sekedar mampir karena kebetulan
lewat," ujar mama Aryani.
"Ah, Mas
Wisnu lagi..," desah Aryani dalam hati.
"Iya sih
ma, acaranya emang udah selesai tadi malam. Tapi maksud Ryani, mumpung di Solo,
sekalian Ryani mau selesaikan urusan desain butik sama rekanan produsen di
sini. Sama Bu Hartati itu lho ma."
Lalu lanjutnya,
"Ryani udah bikin janji ketemu besok hari Senin ma.. Kalau urusannya
beres, bakal langsung pulang, tapi kalau belum, ya lusa Hari Selasa baru
pulang."
"Oo
begitu, baguslah. Baju-baju produksi Bu Hartati memang bagus kualitas potongan
dan jahitannya, tapi ya itu, kamu harus bener-bener jelaskan desainmu, sebab
dia itu otodidak jadi nggak begitu pandai mencermati gambar kalau nggak
betul-betul diterangkan dengan teliti," ujar Mama Aryani, yang kemudian
masih memberikan banyak pesan dan nasehat yang berkepanjangan.
"Oya, satu
lagi...habis ini segera kamu telpon Mas Wisnu ya. Kasihan, tadi dia kelihatan
sangat kecewa nggak ketemu kamu."
"Iyaa
ma.." sahut Aryani dengan segan sebelum mamanya menutup telpon.
Aryani kemudian
terduduk dengan lemah di pembaringannya. Berbagai hal memenuhi pikiran dan
perasaannya akhir-akhir ini. Usaha butiknya yang semakin membutuhkan perhatian,
mama yang semakin mencemaskan dirinya yang belum segera menikah di usia kepala
tiga, Wisnu yang anak mantan kepala kantor papanya yang begitu pandai menarik
hati mamanya, dan...sebuah peristiwa yang tidak diduga-duganya yang terjadi
kemarin malam. Di acara rapat tahunan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia yang
tahun ini diselenggarakan di Solo. Secara tak sengaja dia bertemu dengan
seorang peserta baru. Arya...Dan dia datang dengan seorang perempuan cantik.
Perempuan yang belum sempat dikenalnya. Atau, yang tidak ingin dikenalnya?
"Ah..."
sekali lagi Aryani menghela nafas panjang.
Sejenak ia
teringat pesan mamanya untuk menelpon Wisnu. Nampak keraguan di hatinya.
Beberapa lama Aryani menimang-nimang hpnya. Namun kemudian hp itu diletakannya
kembali di pembaringan. Lalu bagai tak sadar, Aryani bangkit, lalu kembali
berdiri di depan jendela kaca hotelnya lagi.
Ditatapnya lagi
jalanan menurun yang berkelok-kelok di bawahnya. Seolah ada yang dicarinya di
sana. Pada aspal-aspal yang basah berkilat. Pada deretan pohon yang membisu,
yang tak pernah dapat menjawab pertanyaannya; mengapa ia musti bermalam di
Tawangmangu, yang berjarak 40 km dari Solo?
Sementara itu,
hujan deras masih terus dicurahkan dari langit.
*******
"Mari
diminum dulu tehnya jeng. Mungkin sudah nggak panas lagi," kata Bu Hartati
mempersilahkan.
Perlahan Aryani
meneguk teh yang disuguhkan itu. Terasa hangat dan alangkah nikmatnya.
"Masih
hangat kok bu. Malahan pas, nggak terlalu panas."
"Manisnya?"
"Manisnya
juga pas bu, apalagi ditambah ada rasa sepetnya dikit makin enak," ujar
Aryani sambil masih terus menikmati, meneguk tehnya sedikit demi sedikit.
"Itu
namanya teh wasgitel jeng," kata Bu Hartati sambil tersenyum.
"Apa bu?
Wasgitel?"
"Iya..,
wangi, sepet, legi, tur kenthel," jawabnya dengan logat Jawa yang kental.
"Pantesan
enak banget ini bu, lebih-lebih diminum hangat-hangat di pagi hari
begini."
"Iya jeng.
Tapi kalau saya ini beda lagi lho jeng. Kalau saya bukan wasgitel tapi wastubel:
wanita setengah tua anaknya berjubel."
"Haha...Bu
Hartati bisa aja," sahut Aryani sambil tertawa.
Sejenak mereka
masih berbicara kesana kemari dengan asiknya sambil beberapa kali diselingi
tawa mereka. Apalagi Bu Hartati memang suka bergurau dengan hal-hal lucu yang
terkadang tidak terpikirkan oleh Aryani. Namun kemudian topiknya kembali ke
soal bisnis mereka.
"Jadi awal
bulan depan pesanan-pesanan saya sudah bisa dikirim ya bu?"
"Iya jeng,
bahkan mungkin akhir bulan ini sudah bisa saya selesaikan. Kebetulan dengan
adanya tambahan mesin-mesin baru pekerjaan jadi bisa lebih cepat selesai."
"Syukurlah
bu kalau begitu."
"Tapi
jeng, Jeng Aryani besok tetap masih akan kesini lagi kan? Untuk berikan contoh
bahannya? Sebab saya kuatir kalau tidak diberi contoh, nantinya pilihan saya
kurang sesuai dengan selera Jeng Aryani."
"Baik bu.
Sehabis dari sini saya akan berkeliling mencoba untuk cari contoh bahan yang
pas. Besok saya pasti ke sini lagi."
Aryani berhenti
sebentar. Lalu sambil mengeluarkan buku ceknya ia berkata, "Sama ini bu,
saya beri DPnya dulu, daripada besok kelupaan."
"Ah, ya
mosok bakalan lupa to jeng? Tapi kebetulan banget kalau dikasih hari ini. Kata
orang, rejeki nggak boleh ditolak hehe.."
Aryani pun ikut
tertawa kecil sambil menuliskan angka-angka pada lembaran ceknya ketika
tiba-tiba hpnya berbunyi.
Sebuah nomor
yang tidak dikenal muncul pada layar hpnya.
"Siapa...?"
desisnya dalam hati. Diacuhkannya panggilan itu, lalu meneruskan menulis cek
yang kemudian diserahkannya pada Bu Hartati.
"Ini
bu...," belum selesai Aryani berkata, tiba-tiba hpnya berdering lagi.
Diliriknya layarnya yang menyala, panggilan kembali dari nomor yang tadi.
"Eh maaf
bu, saya terima telpon dulu ya bu," ujarnya setengah bertanya.
"Monggo
jeng, monggo. Terimakasih, ini ceknya saya terima," kata Bu Hartati.
Aryani hanya
sempat menganggukkan kepala sambil tersenyum ragu, lalu berjalan sedikit
menjauh untuk menerima telpon. Entah mengapa, ada sesuatu dari panggilan itu
yang tiba-tiba menggetarkan jantungnya.
"Halo...selamat
pagi, dengan siapa ini?" sapa Aryani ragu.
Sejenak tidak
ada jawaban.
"Halo...selamat
pagi, dengan Aryani di sini. Apa ada yang bisa dibantu?"
Masih belum ada
jawaban, membuat Aryani tanpa sadar merasa gelisah. Sekilas ia mengecek layar
hpnya. Masih tersambung.
Tiba-tiba,
terdengar seseorang berkata ragu di ujung telpon, "Ryani..."
Aryani
tersentak. Jantungnya berdegub kencang. Hanya beberapa orang terdekatnya
sajalah yang memanggilnya dengan nama Ryani.
"Ryani...apa
engkau masih ingat suaraku?"
"Mas
Arya...?" sapa Aryani perlahan.
...bersambung...