Friday, 21 October 2022

Part 1- Hujan Masih Akan Turun di Tawangmangu



Hujan masih turun dengan derasnya di luar. Air bagai ditumpahkan dari langit. Begitu lebat, hingga membuat suasana di luar nampak temaram meski jam masih menunjukkan pukul tiga sore. Dan udara terasa begitu dingin menggigit tulang terlebih di Tawangmangu, di dekat puncak Lawu ini.
 
Namun semua itu tak menggoyahkan Aryani untuk tetap berdiri di depan jendela hotelnya. Gadis cantik nan semampai itu hanya semakin mempererat syal yang melingkar di lehernya untuk mengurangi rasa dingin. Tatapannya masih tertuju pada jalan menurun yang berkelok-kelok, meski terhalang butiran-butiran air hujan yang merayap-rayap di kaca jendelanya, meski terhalang butiran air hangat yang menggenang di matanya.
 
Angannya melayang, membawanya pada kenangan sepuluh tahun lalu, ketika dia juga melalui jalanan menurun yang berkelok-kelok itu. Tidak sendiri seperti saat ini, melainkan bersama Arya.
 
"He...mas hati-hati..awas tikungan!" pekiknya.
 
Dengan mendadak, sigap Arya membelokkan setir motornya. Sontak Aryani memeluk erat tubuhnya. Wajahnya pucat. Namun Arya justru tertawa keras-keras.
 
"Kaget ya? ujarnya tanpa bisa menahan tawanya.
 
"Ah..kamu nakal. Pasti kamu sengaja!" dengan gemas Aryani mencubit Arya bertubi-tubi.
 
"He..he...sakiiit...awas nanti kita jatuh. Jalanan licin!"
 
"Oh.." segera Aryani menghentikan cubitan-cubitannya ketika disadarinya laju motor yang agak oleng ditengah hujan deras itu.
 
"Makanya, nyetir motor yang bener. Lihatnya ke depan, jangan nengok-nengok aja!"
 
"Iya maaf, soalnya tadi ada yang kelewatan."
 
"Oh, di mana? Siapa yang kelewatan?"
 
"Kamu!"
 
"Lho?"
 
"Iya, kamu yang kelewatan. Kelewatan cantiknya!"
 
"Ah...," desah Aryani sambil mencubit Arya. Lalu dengan manja, ia semakin merapatkan tubuhnya memeluk Arya.
 
Aryani menghela nafas panjang, seakan mau dipenuhinya paru-parunya dengan udara dingin di sore itu.
 
Namun tiba-tiba angannya pudar ketika didengarnya getar dari hpnya yang di-silent. Ada panggilan masuk. Dengan segan ia melangkah ke pembaringannya. Lalu menengok layar hp yang menyala itu.
 
"Mama...," desisnya dalam hati.
 
Sejenak ia ragu. Lalu, "Ya ma..?"
 
"Yan..kamu masih di Solo? Kok belum pulang ke Semarang?"
 
"Iya ma, ini masih ada urusan. Mungkin besok atau lusa baru pulang."
 
"Lho, bukannya acaranya sudah selesai tadi malam?"
 
"Mama kok tau ma, kata siapa?"
 
"Tadi Mas Wisnu ke rumah. Nyari kamu. Katanya sekedar mampir karena kebetulan lewat," ujar mama Aryani.
 
"Ah, Mas Wisnu lagi..," desah Aryani dalam hati.
 
"Iya sih ma, acaranya emang udah selesai tadi malam. Tapi maksud Ryani, mumpung di Solo, sekalian Ryani mau selesaikan urusan desain butik sama rekanan produsen di sini. Sama Bu Hartati itu lho ma."
 
Lalu lanjutnya, "Ryani udah bikin janji ketemu besok hari Senin ma.. Kalau urusannya beres, bakal langsung pulang, tapi kalau belum, ya lusa Hari Selasa baru pulang."
 
"Oo begitu, baguslah. Baju-baju produksi Bu Hartati memang bagus kualitas potongan dan jahitannya, tapi ya itu, kamu harus bener-bener jelaskan desainmu, sebab dia itu otodidak jadi nggak begitu pandai mencermati gambar kalau nggak betul-betul diterangkan dengan teliti," ujar Mama Aryani, yang kemudian masih memberikan banyak pesan dan nasehat yang berkepanjangan.
 
"Oya, satu lagi...habis ini segera kamu telpon Mas Wisnu ya. Kasihan, tadi dia kelihatan sangat kecewa nggak ketemu kamu."
 
"Iyaa ma.." sahut Aryani dengan segan sebelum mamanya menutup telpon.
 
Aryani kemudian terduduk dengan lemah di pembaringannya. Berbagai hal memenuhi pikiran dan perasaannya akhir-akhir ini. Usaha butiknya yang semakin membutuhkan perhatian, mama yang semakin mencemaskan dirinya yang belum segera menikah di usia kepala tiga, Wisnu yang anak mantan kepala kantor papanya yang begitu pandai menarik hati mamanya, dan...sebuah peristiwa yang tidak diduga-duganya yang terjadi kemarin malam. Di acara rapat tahunan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia yang tahun ini diselenggarakan di Solo. Secara tak sengaja dia bertemu dengan seorang peserta baru. Arya...Dan dia datang dengan seorang perempuan cantik. Perempuan yang belum sempat dikenalnya. Atau, yang tidak ingin dikenalnya?
 
"Ah..." sekali lagi Aryani menghela nafas panjang.
 
Sejenak ia teringat pesan mamanya untuk menelpon Wisnu. Nampak keraguan di hatinya. Beberapa lama Aryani menimang-nimang hpnya. Namun kemudian hp itu diletakannya kembali di pembaringan. Lalu bagai tak sadar, Aryani bangkit, lalu kembali berdiri di depan jendela kaca hotelnya lagi.
 
Ditatapnya lagi jalanan menurun yang berkelok-kelok di bawahnya. Seolah ada yang dicarinya di sana. Pada aspal-aspal yang basah berkilat. Pada deretan pohon yang membisu, yang tak pernah dapat menjawab pertanyaannya; mengapa ia musti bermalam di Tawangmangu, yang berjarak 40 km dari Solo?
 
Sementara itu, hujan deras masih terus dicurahkan dari langit.
 
*******
 
"Mari diminum dulu tehnya jeng. Mungkin sudah nggak panas lagi," kata Bu Hartati mempersilahkan.
 
Perlahan Aryani meneguk teh yang disuguhkan itu. Terasa hangat dan alangkah nikmatnya.
 
"Masih hangat kok bu. Malahan pas, nggak terlalu panas."
 
"Manisnya?"
 
"Manisnya juga pas bu, apalagi ditambah ada rasa sepetnya dikit makin enak," ujar Aryani sambil masih terus menikmati, meneguk tehnya sedikit demi sedikit.
 
"Itu namanya teh wasgitel jeng," kata Bu Hartati sambil tersenyum.
 
"Apa bu? Wasgitel?"
 
"Iya.., wangi, sepet, legi, tur kenthel," jawabnya dengan logat Jawa yang kental.
 
"Pantesan enak banget ini bu, lebih-lebih diminum hangat-hangat di pagi hari begini."
 
"Iya jeng. Tapi kalau saya ini beda lagi lho jeng. Kalau saya bukan wasgitel tapi wastubel: wanita setengah tua anaknya berjubel."
 
"Haha...Bu Hartati bisa aja," sahut Aryani sambil tertawa.
 
Sejenak mereka masih berbicara kesana kemari dengan asiknya sambil beberapa kali diselingi tawa mereka. Apalagi Bu Hartati memang suka bergurau dengan hal-hal lucu yang terkadang tidak terpikirkan oleh Aryani. Namun kemudian topiknya kembali ke soal bisnis mereka.
 
"Jadi awal bulan depan pesanan-pesanan saya sudah bisa dikirim ya bu?"
 
"Iya jeng, bahkan mungkin akhir bulan ini sudah bisa saya selesaikan. Kebetulan dengan adanya tambahan mesin-mesin baru pekerjaan jadi bisa lebih cepat selesai."
 
"Syukurlah bu kalau begitu."
 
"Tapi jeng, Jeng Aryani besok tetap masih akan kesini lagi kan? Untuk berikan contoh bahannya? Sebab saya kuatir kalau tidak diberi contoh, nantinya pilihan saya kurang sesuai dengan selera Jeng Aryani."
 
"Baik bu. Sehabis dari sini saya akan berkeliling mencoba untuk cari contoh bahan yang pas. Besok saya pasti ke sini lagi."
 
Aryani berhenti sebentar. Lalu sambil mengeluarkan buku ceknya ia berkata, "Sama ini bu, saya beri DPnya dulu, daripada besok kelupaan."
 
"Ah, ya mosok bakalan lupa to jeng? Tapi kebetulan banget kalau dikasih hari ini. Kata orang, rejeki nggak boleh ditolak hehe.."
 
Aryani pun ikut tertawa kecil sambil menuliskan angka-angka pada lembaran ceknya ketika tiba-tiba hpnya berbunyi.
 
Sebuah nomor yang tidak dikenal muncul pada layar hpnya.
 
"Siapa...?" desisnya dalam hati. Diacuhkannya panggilan itu, lalu meneruskan menulis cek yang kemudian diserahkannya pada Bu Hartati.
 
"Ini bu...," belum selesai Aryani berkata, tiba-tiba hpnya berdering lagi. Diliriknya layarnya yang menyala, panggilan kembali dari nomor yang tadi.
 
"Eh maaf bu, saya terima telpon dulu ya bu," ujarnya setengah bertanya.
 
"Monggo jeng, monggo. Terimakasih, ini ceknya saya terima," kata Bu Hartati.
 
Aryani hanya sempat menganggukkan kepala sambil tersenyum ragu, lalu berjalan sedikit menjauh untuk menerima telpon. Entah mengapa, ada sesuatu dari panggilan itu yang tiba-tiba menggetarkan jantungnya.
 
"Halo...selamat pagi, dengan siapa ini?" sapa Aryani ragu.
 
Sejenak tidak ada jawaban.
 
"Halo...selamat pagi, dengan Aryani di sini. Apa ada yang bisa dibantu?"
 
Masih belum ada jawaban, membuat Aryani tanpa sadar merasa gelisah. Sekilas ia mengecek layar hpnya. Masih tersambung.
 
Tiba-tiba, terdengar seseorang berkata ragu di ujung telpon, "Ryani..."
 
Aryani tersentak. Jantungnya berdegub kencang. Hanya beberapa orang terdekatnya sajalah yang memanggilnya dengan nama Ryani.
 
"Ryani...apa engkau masih ingat suaraku?"
 
"Mas Arya...?" sapa Aryani perlahan.
 
                               ...bersambung...

Comments
0 Comments

No comments: