Saturday, 12 November 2022

Part 1- PARTIJAH



Sudah sejak semalam hujan belum juga berhenti mengguyur lereng bukit di Desa Girimulyo. Semua telah dibasahinya : pepohonan, tanah, dan rumah-rumah di lereng itu. Termasuk sebuah rumah lawas berbentuk limasan.
 
Seorang perempuan berdiri di depan jendela rumah itu, menatap bukit yang menjulang di hadapannya. Penambahan kaca pada jendela lawas itu cukup mampu melindunginya dari sergapan udara dingin berkabut yang menggigit, serta dari tampias air hujan yang dihamburkan angin. Angin yang juga melibat pepohonan yang tak banyak di bukit itu.
 
Partijah, nama perempuan yang usianya sudah menginjak kepala tiga itu sejenak menghela nafas panjang, lalu kembali duduk di belakang meja, melanjutkan apa yang ditulisnya sedari tadi :
 
Sajak Petani Kecil
 
Hujan telah kembali menyapa
Petani kecil yang tidur nestapa
"Bukankah aku yang kau tunggu di saat ayunan cangkulmu menggaris kejamnya ladang?"
Petani kecil tersenyum
 
Hujan menyapa-nyapa
Petani kecil tersenyum lalu terjaga
Menengadah langit
Dibalik seringai awan hitam
 
Hujan menyapa kian menggegar
Petani kecil terduduk gemetar
Menatap lekat bukit yang terbabat
Akankah ia masih dapat tersenyum?
 

Sejenak kemudian Partijah telah memosting sajak itu di medsosnya. Ada sebaris tipis senyum pada bibirnya. Tapi hanya sekilas sebelum ia kembali melangkah ke jendela itu sambil berdesah.
 
Seorang perempuan tua datang menghampirinya.
Wis to nduk, ojo dipikir nemen-nemen,” ujar Mbok Karmo, nama perempuan itu.
“Bukankah kamu sudah melaporkan keadaan bukit itu kepada kepala dusun?”
 
“Tapi mbok, kelihatannya pak kepala dusun tidak meneruskannya ke kepala desa. Nyatanya sampai hari ini tidak ada seorang pun dari perangkat desa atau siapa pun, datang melihat kondisi bukit ini,” kata Partijah.
 
Mbok Karmo tidak menjawab, namun matanya mengikuti tatapan Partijah. Memandang hujan di bukit sebelah rumah mereka dari balik kaca jendela. Ada sepercik air terjebak di sudut kacanya, seperti juga air di sudut mata tuanya yang berkaca-kaca.
 
Hari demi hari berlalu. Desa Girimulyo tetap nampak tenang. Hujan dan angin kencang yang hampir setiap hari menghampiri, seolah adalah hal biasa bagi warga desa. Tapi tidak bagi Partijah, yang selalu setia menapaki bukit itu, memberi tanda di beberapa lokasi, memfoto, lalu memostingnya pada media sosial.
 
“Jah.., Jah! Seberapa banyak pun kamu tujukkan foto-fotomu, warga sini nggak akan ada yang percaya!” ujar Bejo tetangganya.
 
“Tapi tanda-tanda ini sesuai benar dengan yang saya baca Jo. Ini bisa bikin longsor!”
 
“Sudahlah Jah. Daripada bicara soal longsor yang nggak jelas ini, lebih baik bicara tentang kita,” ujar Bejo sembari berusaha meraih tangan Partijah. Namun Partijah berlalu sambil mendengus kesal.

                                   ...bersambung...
 
Comments
0 Comments

No comments: