Part 4- Hujan Masih Akan Turun di Tawangmangu
Sejenak Arya memandang tajam Aryani, seolah dia ingin meyakinkan apa maksud Aryani menanyakan hal itu. Ada setitik harapan cerah di hatinya bahwa Aryani cemburu terhadap wanita itu. Namun Aryani yang dipandanginya hanya menundukkan kepalanya.
"Oh dia? Dia Mbak Gayatri. Kenapa dengan Mbak Gayatri, Ry"
Aryani semakin bingung untuk menjawab.
"Ah gakpapa mas. Lupakan aja," sahut Aryani terbata-bata.
Namun seakan memaklumi maksud Aryani, Arya menjelaskan, "Mbak Gayatri itu seorang pengusaha perkebunan yang cukup terpandang di Solo. Dia ketua asosiasi pengusaha perkebunan, aku sendiri adalah wakilnya."
Arya berhenti sebentar, lalu lanjutnya, "Sedangkan Pak Herman suaminya adalah seorang birokrat. Dia pejabat di Dinas Pertanian dan Perkebunan. Aku kenal baik juga dengannya."
Tanpa sesadarnya Aryani menghela nafas dalam-dalam. Ada sedikit perasaan lega padanya. Namun kemudian katanya, "Saya kira dia itulah yang bernama Larasati?"
Entah mengapa Aryani tersipu sendiri ketika mengatakan hal ini.
"Ah, Larasati tentu tidak seusia Mbak Gayatri, Ry. Dia pastinya lebih muda, seumuran dengan kamu. Waktu itu bapak mencarikan jodoh buat aku tentunya yang seumuran denganku."
"Dan pastinya masih keturunan ningrat? Dan seiman pula?" bertanya Aryani tiba-tiba.
Arya tertegun, namun kemudian katanya, "Ya, begitulah. Dia masih ada jalur keturunan dari Kasunanan Solo."
Tanpa sadar mereka saling memandang. Seolah mereka saling mengatakan itulah sebabnya Pak Probo menjodohkan Arya dengan Larasati, dan menolak Aryani.
Lalu angan mereka pun melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam :
Tatkala bersama Arya, Aryani memasuki halaman sebuah rumah besar. Sebuah rumah tradisional Jawa, lengkap dengan pendapanya yang luas di bagian depan. Tiang-tiang penyangganya berjumlah dua belas. Dengan pada masing-masing tiang itu terdapat ukiran-ukiran rumit yang indah yang disungging dengan warna emas.
Di samping kiri kanan pendapa tersebut terdapat akses jalan masuk melalui samping rumah. Dan di sebelah jalan itu hingga ke dinding batas samping rumah, terdapat taman yang ditata secara asri. Banyaknya pohon melati yang ditanam di sana semakin memberi kesan Jawa yang kental.
Dengan jantung berdebaran Aryani memperhatikan rumah itu seolah baru pertama melihatnya. Entahlah, meski sudah beberapa kali Aryani bertandang ke rumah ini, namun semakin lama ia justru merasa semakin merasa asing di rumah ini. Dan hari ini, ia memandangi rumah itu seakan inilah kali terakhir ia menginjakkan kakinya.
Namun di sisi lain Arya sendiri terlihat santai. Setelah naik ke pendapa dan mempersilahkan Aryani duduk di sebuah kursi rotan, Arya berkata, "Ryani, tunggu sebentar ya, jangan hilang lho."
"Tenang aja mas. Aku gak akan hilang meninggalkanmu. Kecuali tiba-tiba aku diculik orang," ujar Aryani berusaha membalas candaan Arya, meski hatinya mendadak merasa gelisah tanpa sebab.
"Dan kamu diculik diam aja?"
"Tergantung. Kalau yang nyulik lebih ganteng dari kamu ya aku nurut aja."
"Memangnya apa ada penculik yang lebih ganteng dari aku?" kata Arya sambil tertawa.
"Huh...kepedean!" Aryani mencibirkan bibirnya.
Sementara itu, masih sambil tertawa Arya masuk ke ruang dalam rumahnya, melalui sebuah pintu yang di atasnya terdapat sebuah papan bertuliskan Soeprobo Baskoro dengan gelar RM atau Raden Mas di depan namanya.
Tiba-tiba kembali dada Aryani berdebar-debar. Akankah orangtua Arya bakal keluar menemuinya? Ada sepercik kekhawatiran di hatinya.
Orang tua Arya adalah seorang yang cukup kaku, khususnya ayahnya. Dia sangat peduli pada soal-soal bibit, bobot, dan bebet bagi calon pasangan anaknya. Mungkin dari segi kualitas personalnya dalam hal bibit dan bobot, Aryani masih masuk dalam kriteria. Namun soal bebet atau keturunan?
Suatu saat ketika awal-awal Aryani berkenalan dengan Pak Probo, dia pernah ditanya, "Jadi Nak Aryani ini sama sekali tidak ada jalur keturunan ningrat Jawa?"
"Inggih pak, setau saya begitu," jawab Aryani sambil mengeluh dalam hati, "Huh..seorang bangsawan Jawa yang feodal."
Dan semenjak itu, jika Aryani bertandang ke rumah Arya, sikap Pak Probo menjadi cukup dingin, bahkan akhir-akhirnya menjadi sangat dingin. Apalagi setelah mereka mengetahui bahwa ada perbedaan keyakinan antara dirinya dengan Arya. Dan sikap itulah yang menggelisahkannya saat ini.
Beberapa saat kemudian Arya keluar. Dia sudah berganti baju. Siap untuk menemani Aryani pergi menonton film. Akan tetapi nampak ada perbedaan dengan sikapnya tadi. Kali ini nampak wajahnya lesu. Dan dia menjatuhkan badannya duduk dengan lemahnya.
"Ada apa mas?"
"Gak, gakpapa. Kita berangkat sekarang aja?"
"Ehm...tadi kata mas sekarang masih kesorean dan mau istirahat di rumah sebentar?"
"Oh iya..." kata-kata Arya terputus. Sepertinya dia kebingungan.
"Tapi kalau mas mau supaya kita berangkat sekarang ya gakpapa. Kita pamit dulu sama bapak ibu mas?"
Arya terdiam beberapa lama. Kini Aryani yang bingung dengan sikap Arya yang tiba-tiba berubah. Bukankah waktu datang tadi dia begitu ceria?
"Ry...aku bingung..."Arya berhenti sejenak.
"Ada apa sebenarnya mas?"
Arya masih diam. Namun tiba-tiba terdengar suara, "Arya, mengapa tidak kau katakan terus terang saja?"
Seseorang keluar dari pintu ruang dalam yang memang masih terbuka ketika Arya keluar tadi. Pak RM Soeprobo Baskoro. Ayah Arya.
Sikapnya tenang. Namun wajah di balik kumisnya yang tebal melintang itu terlihat keras. Rambutnya yang terlihat agak panjang ditutupnya dengan sebuah blangkon khas Solo.
Sejenak ia memandang Aryani yang menganggukkan kepala sambil menyapa; "Sugeng sonten bapak."
"Ya," jawab Pak Probo singkat.
Dan karena ia tidak segera duduk, maka Aryani berjalan menghampiri lalu mencium tangannya.
Sejenak Aryani masih berdiri dengan ragu karena Pak Probo tidak segera duduk. Namun kemudian terdengar Pak Probo menyuruhnya untuk duduk.
"Duduklah," ia berhenti sebentar.
Lalu, "Ada yang mau bapak bicarakan dengan kalian berdua. Khususnya denganmu Ryani, karena sebenarnyalah bapak sudah menerangkan panjang lebar kepada Arya. Dan bahkan berkali-kali bapak sudah minta kepada Arya untuk menyampaikan persoalan ini kepadamu Ryani, tetapi kelihatannya sampai sekarang belum disampaikannya juga apa yang bapak pesankan itu."
Lalu sambil memandang Arya dengan tajamnya, Pak Probo bertanya dengan nada dalam, "Bukankah begitu Arya?"
Arya tergagap dan hanya bisa menjawab pelan sambil menunduk, "Inggih romo."
Baru sesaat kemudian demi dilihatnya ayahnya yang masih berdiri, dia berkata, "Monggo romo, duduk di sini," sambil sedikit menyorongkan sebuah kursi kosong.
Pak Probo tidak menjawab. Sambil masih tetap berdiri dan melipat kedua tangannya di dada, dia berkata, "Dengarlah baik-baik Ryani... Bapak tahu bahwa kamu sudah lama berteman dengan Arya. Sudah semenjak kalian sama-sama masuk kuliah di UNS. Dan selama ini kamu telah menjadi teman yang baik bagi Arya. Bahkan bukan sekedar teman baik, tapi menurut pandangan bapak, kalian sudah menjadi sepasang kekasih, benar?"
Aryani sama sekali tidak berani menjawab. Tiba-tiba saja sikap Pak Probo nampak demikian menakutkan baginya. Oleh karena itu, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya saja.
Kemudian didengarnya Pak Probo melanjutkan kata-katanya, "Tetapi bapak tahu, dan kalian pasti lebih tahu, bahwa di antara kalian terdapat banyak perbedaan. Dan perbedaan itu bukanlah sekedar perbedaan yang sepele. Melainkan ada perbedaan-perbedaan yang bersifat sangat prinsip. Prinsip yang mutlak harus dipenuhi dan yang tidak bisa ditawar-tawar! Tidak perlu bapak jelaskan, kalian pasti sudah mengerti maksud bapak," Pak Probo berhenti sebentar. Ditatapnya kedua anak muda itu dengan tajam. Namun mereka berdua hanya menundukkan kepala.
Maka kemudian Pak Probo berkata selanjutnya dengan intonasi yang semakin tegas, "Nah, maka dari itu, menjadi kewajiban bapak untuk mengingatkan kalian. Mumpung belum terlanjur, mumpung hubungan kalian belum semakin dalam, bapak minta, bapak perintahkan, supaya kalian mengakhiri hubungan kalian! Cukup sampai hari ini! Cukup sampai di sini!"
Seolah ada halilintar yang meledak di dalam dada Aryani, bersamaan dengan meledaknya sebuah halilintar yang tiba-tiba menggelegar dengan kerasnya di tengah cuaca mendung sore itu.
Kata-kata yang diucapkan Pak Probo dengan tegas dan sambil berdiri itu, bagaikan puluhan petir yang tiba-tiba meledak bersamaan.
Betapa terpukulnya hati Aryani, tetapi Pak Probo belum selesai bicara.
"Dan bapak minta Ryani, untuk selanjutnya tolong jangan ganggu Arya lagi. Lupakan Arya, karena saat ini dia sudah terikat dalam perjanjian perjodohan dengan putri seorang bangsawan teman bapak. Namanya Larasati !"
Aryani memandang Pak Probo dengan wajah pucat. Bibirnya bergetar, namun tak sepatah kata pun dapat terucapkannya. Sama sekali tak disangkanya bahwa akan ada vonis yang jatuh begitu tiba-tiba, tanpa ada peringatan sama sekali dari siapapun. Bahkan dari Arya sekali pun!
Betapa pedih kejutan yang dialaminya. Betapa dadanya sesak dan ingin memuntahkan tangisnya. Tetapi sekuat tenaga ditahankannya isaknya hingga membuat tenggorokannya serasa panas tersumbat dan badannya menggigil bergetar.
Sementara itu Arya pun hanya mampu berseru pendek, "Romo...!"
Pak Probo hanya memalingkan wajahnya sebentar dengan dingin.
"Baiklah, itu saja yang bapak mau katakan kepadamu Ryani. Selebihnya semua bisa ditanyakan pada Arya. Dia sudah tahu semua maksud dan rencana bapak," Pak Probo berhenti sebentar, kemudian lanjutnya, "Maaf, bapak tidak pandai berbasa-basi. Bapak pikir Nak Ryani sebagai seorang yang sudah dewasa tentu dapat mengerti."
Lalu sambil menengok ke Arya, "Dan kamu Arya, camkan peringatan yang sudah berkali-kali bapak berikan."
Sejenak Pak Probo memandang mereka dengan tajamnya, berusaha menilai tanggapan mereka. Namun wajah-wajah mereka hanya pucat tertunduk. Maka kemudian Pak Probo melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Semua diam. Sunyi. Seperti kesunyian yang mendadak menyergap hati mereka. Tak ada suara, sampai tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh bunyi hujan yang turun dengan derasnya.
Bagai tersadar, Arya mengangkat wajahnya melihat air yang bagai ditumpahkan dari langit. Namun hatinya tercekat ketika dilihatnya pula air yang mengalir di pipi Aryani.
"Ryani, maafkan aku..." tetapi belum sempat Arya menyelesaikan kalimatnya, dilihatnya Aryani berdiri dan seketika berlari menuruni pendapa...
Sesaat Arya kebingungan, namun kemudian segera berlari mengejar Aryani.
"Ryani, tunggu..!"
Namun Aryani telah sampai halaman, menembus hujan lebat, dan terus berlari melewati pagar hingga sampai ke jalan raya.
"Taksi..! Taksi..!"
Sebuah taksi yang kebetulan lewat cepat berhenti, dan segera melaju setelah Aryani buru-buru memasukinya. Meninggalkan Arya yang terlambat selangkah dan yang hanya bisa menggedor-gedor kaca jendelanya.
"Ryani...!!"
"Ryani...!!"
"Ryanniiii.....!!"